Selasa, 08 Januari 2019

Paus Farnsiscus



Oleh: Tony Firman - 13 Maret 2018
Dibaca Normal 4 menit
Garam dan terang
dunia. Kesayangan
para jelata.
tirto.id - Naiknya Jorge Mario Bergoglio menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia tidak disangka sebelumnya. Paus Benediktus XVI tiba-tiba mengumumkan bahwa kekuatan fisik dan mentalnya tak memungkinkan lagi untuk terus memegang takhta suci Vatikan. Kabar mundurnya Benediktus pertama kali disampaikan Vatikan pada 11 Februari 2013 pagi hari.

Setelah pengunduran diri secara resmi pada 28 Februari 2013, Vatikan memasuki sede vacante, masa jeda kepausan atau kekosongan kepemimpinan, dan berada dalam proses memilih pengganti. Nama Bergoglio mulanya tidak muncul sebagai pilihan dalam perbincangan setelah mundurnya Benediktus.

Memasuki hari-hari yang kian mendekati pemilihan pada awal Maret, nama kardinal Jorge Mario Bergoglio mulai diperhitungkan dan diusulkan. Bergoglio menyadari hal itu.

“Saya ingin Anda berdoa untuk saya,” tutur Bergoglio kepada pastur Thomas Rosica, teman lamanya, yang sempat berpapasan di Vatikan pada 10 Maret 2013.

Rosica kemudian balik bertanya, "Apakah Anda gugup?"

“Sedikit,” jawab Bergoglio seperti dilansir USA Today.

Dua hari kemudian, pada Selasa malam, Bergoglio dan 114 kardinal lainnya mulai memasuki konklaf untuk memilih paus baru.

Hingga akhirnya pada 13 Maret 2013, tepat hari ini 5 tahun lalu, saat pemungutan suara hari kedua konklaf, Bergoglio muncul di balkon Basilika Santo Petrus dan menyapa “selamat malam”. Ia resmi menjadi Paus ke-266 yang memimpin Gereja Katolik sedunia sekaligus Kepala Negara Kota Vatikan.

Sejarah Baru Kepausan di Abad ke-21

Terpilihnya Bergoglio menandai sejarah baru dalam dunia kepausan. Ia adalah Paus pertama yang berasal dari benua Amerika. Butuh waktu 1.272 tahun bagi Takhta Suci untuk diduduki seorang paus dari luar Eropa sejak Paus Gregorius III asal Suriah (731-741).

Selama ini, meski Santo Petrus—paus pertama sekaligus pendiri Gereja Katolik—berasal dari Betsaida, daerah pinggiran Suriah dekat Galilea, deretan paus penerusnya kebanyakan berasal dari negara-negara Eropa khususnya Italia. Hanya segelintir yang berasal dari Timur Tengah.

Mundurnya Paus Benediktus XVI sebenarnya juga sesuatu yang langka di tengah lazimnya para paus memimpin sampai tutup usia. Pengunduran diri tersebut adalah kali kedua sejak hampir 720 tahun lalu. Ketika itu Paus Selestinus V memilih mengakhiri jabatan lebih dini pada 13 Desember 1294.

Selain itu, ada Paus Gregorius XII yang pernah melepaskan jabatan kepausannya pada 4 Juli 1415 saat desakan mengakhiri masa Skisma Barat kian menguat. Pada periode ini terjadi konflik politik kepausan di mana ada tiga orang mengklaim sebagai paus yang sah.

Kemunculan Bergoglio

Bergoglio memilih nama Fransiskus atau Francis sebagai nama kepausannya. Ia hendak meneladani dan menghormati Santo Fransiskus dari Assisi.

Lelaki yang hobi menonton sepakbola ini lahir pada 17 Desember 1936 di Buenos Aires, Argentina. Orangtuanya adalah imigran dari Italia.


Karier awal Bergoglio tidak dimulai dari dunia keagamaan. Encyclopaedia Britannica menyebut, selepas SMA ia sempat bekerja singkat di industri pengolahan makanan sebelum akhirnya merasa terpanggil melayani gereja.

Memasuki usia 21, Bergoglio, yang punya riwayat penyakit pneumonia berat, diterima di novisiat Yesuit pada 1958. Ia kemudian melanjutkan jenjang akademisnya dengan belajar sastra di Santiago, Chili dan dapat gelar sarjana filsafat di Buenos Aires, Argentina. Setelah itu, ia mengejar gelar teologi sambil mengajar sastra dan psikologi di sebuah SMA.

Karier pelayanan gereja mulai ditapaki secara serius saat Bergoglio ditahbiskan sebagai imam pada 1969. Berlanjut mengangkat sumpah di Ordo Yesuit pada 1973, hingga memperoleh jabatan sebagai pemimpin Yesuit di Argentina dari 1973 sampai 1979.

Sejak itu, kariernya terus menanjak. Ia menjadi Uskup Agung Buenos Aires pada 1998 dan diangkat sebagai kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II tiga tahun kemudian.

Latar belakang Bergoglio sebagai warga Amerika Latin—bekas wilayah jajahan bangsa-bangsa Eropa—yang kerap diguncang banyak revolusi mempengaruhi pemikiran dan tindakannya ketika menjadi pemimipin tertinggi umat Katolik.

Saat menjadi pemimpin Yesuit Argentina, ia mengklaim pernah menyembunyikan beberapa orang, termasuk membantu melarikan diri ke negara lain, yang dicari dalam aksi bersih-bersih diktator militer Jenderal Jorge Rafael Videla terhadap elemen kiri dan subversif lain. Antara 10.000 sampai 30.000 orang dihilangkan dalam periode yang disebut sebagai Perang Kotor (1976-1983) itu.

Kontroversi Sang Paus

Mengambil nama Fransiskus berarti meneladani serta mencerminkan "kemiskinan dan perdamaian"—sesuatu yang coba ia lakukan selama masa kepausannya. Ia juga banyak menunjuk kardinal dari negara-negara berkembang yang sejauh ini didominasi orang-orang Eropa.

Gebrakan awal Paus Fransiskus adalah pada saat masa pekan pra-Paskah yang bertepatan dengan hari sesudah pelantikannya. Ada sebuah tradisi turun temurun yaitu membasuh 12 kaki orang yang dilakukan oleh paus. Ritual ini meneladani tindakan Yesus yang membasuh kaki 12 muridnya.

Paus Fransiskus kemudian memilih membasuh dan mencium 12 kaki para penghuni penjara yang rata-rata masih muda dalam misa pembasuhan Kamis Putih. Di antara 12 orang tersebut ada seorang Muslim dari Serbia.

Tindakan paus itu menjadi semacam agenda rutin tahunan dan dianggap mendobrak nilai-nilai lama. Dalam tradisi sebelumnya, kaki yang dibasuh lazimnya adalah hanya milik para lelaki, bukan perempuan seperti yang dilakukan Paus Fransiskus sekarang. Kalangan Katolik konservatif, yang belum atau tidak bisa menerima perubahan nilai, banyak mengkritik tindakannya.

Ucapan paus juga tak kalah kontroversial. Seperti pada akhir 2013 silam, ia pernah mengatakan kepada La Civiltà Cattolica, sebuah majalah bulanan terbitan Ordo Yesuit, bahwa gereja kini tak perlu bicara terus menerus mengenai masalah aborsi, kontrasepsi buatan, dan homoseksualitas. Paus Fransiskus berpikir bahwa isu-isu lain, terutama tugas untuk membantu mereka yang miskin dan terpinggirkan, selama ini justru telah diabaikan.


Paus Fransiskus dengan blak-blakan turut mengakui tentang masalah pedofilia, yang dalam beberapa tahun terakhir sebelum ia menjabat menjadi polemik dalam tubuh Gereja Katolik. Dalam wawancara dengan surat kabar La Repubblica pada 2014 lalu, seperti diwartakan National Post, ia tidak segan mengakui bahwa 2 persen dari total jumlah imam Gereja Katolik, termasuk uskup dan kardinal, adalah pedofil. Jumlah itu setara dengan 8.000 orang.

Pada Mei 2013, seperti dilansir BBC, Paus Fransiskus pernah mendesak para pemimpin dunia untuk mencegah ambisi moneter yang berlebihan. Ia menyatakan, ambisi tersebut mirip dengan penyembahan berhala uang dan mendesak mereka untuk memberikan bantuan kesejahteraan.

Saat ISIS kian menguat dan terornya merembet sampai ke Eropa, termasuk pembunuhan seorang pastur tua bernama Jacques Hamel pada 26 Juli 2016 dengan cara digorok ketika memimpin misa di Gereja, Paus memberikan pandangan objektif dan tidak melimpahkan kesalahan kepada Islam.

Ia melihat hampir semua agama selalu memiliki kelompok kecil fundamentalis, tidak terkecuali di kalangan Katolik. "Jika saya harus berbicara tentang kekerasan dalam Islam, saya pun harus berbicara tentang kekerasan dalam Kristen," tutur Paus, merujuk pada beberapa individu Katolik yang melakukan pembunuhan.

Para kapitalis hipokrit juga tak lupa disenggol Paus dalam sebuah misa pagi pada Februari 2017. Menurutnya, jika seorang Katolik tak memberi upah layak, mengeksploitasi orang, melakukan bisnis kotor, dan pencucian uang, lebih baik bagi mereka hidup sebagai ateis daripada masih mengaku Katolik.

Hal baru lain yang diterapkan di lingkungan Vatikan adalah membangun deretan kamar mandi di dekat lapangan Santo Petrus untuk para tunawisma. Dilansir dari Der Spiegel pada 2015 lalu, Paus Fransiskus juga bernegosiasi menjembatani hubungan kembali antara Kuba dan Amerika Serikat, termasuk membikin orang-orang Israel senewen dengan menyebut Presiden Palestina Mahmoud Abbas sebagai “malaikat damai”.

Masih banyak lagi daftar pemikiran, ucapan, dan tindakan Paus Fransiskus yang kontroversial karena menyajikan perspektif baru. Sepak terjang Paus Fransiskus selama beberapa tahun belakangan bukannya tanpa perlawanan. Beberapa orang yang tak setuju menyatakan kritiknya, terutama dari kalangan Katolik konservatif.


infografik mozaik paus fransiskus


Penerimaan terhadap Paus

Pew Research baru-baru ini merilis survei tentang pandangan orang Katolik AS terhadap kepemimpinan Sri Paus menjelang lima tahun masa jabatan. Hasilnya, 84 persen mengatakan bahwa mereka, para umat Katolik AS, memiliki pendapat yang positif tentang Paus Fransiskus, 94 persen melihatnya sebagai seorang penyayang, dan 91 persen melihat ada kerendahan hati. Hasil ini diklaim stabil, tak berubah sejak survei yang sama dirilis setahun setelah naiknya Jorge Mario Bergoglio menjadi paus.

Sementara di Eropa, dukungan terhadap kepemimpinan Paus Fransiskus menunjukkan penilaian positif sebesar 84 persen. Di Amerika Latin, wilayah asal Paus Fransiskus, sebanyak 72 persen memberi opini positif. Sosok Paus Fransiskus kurang dikenali di Afrika dengan hanya 44 persen yang menyukainya. Hanya 25 persen yang menilai positif dan pluralis di Timur Tengah. Data ini dihimpun Pew Research pada 2013.

Secara umum, kepemimpinan Paus Fransiskus yang kontroversial dan pelan-pelan membongkar konservatisme Katolik dapat diterima sebagian besar umat.

Beberapa tahun terakhir sebelum kenaikan Paus Fransiskus, otoritas Gereja Katolik disorot tajam karena beberapa skandal negatif yang mencoreng muka seperti pelecehan terhadap anak-anak, korupsi dan pencucian uang, pencurian dokumen di tempat tinggal kepausan, hingga intrik di Kuria (perangkat administratif pusat).

Singkatnya, Bergoglio memanggul harapan besar untuk menata ulang dan membawa Gereja Katolik pada konteks abad terkini. Ia juga harus mengatasi beberapa isu dan permasalahan lain yang menunggu untuk diselesaikan.

Soegijopranoto

Oleh: Petrik Matanasi - 22 Juli 2018
Dibaca Normal 3 menit
Mengabdi tanpa
pamrih. Dari gereja
untuk negara.
tirto.id - Soegija tidak berasal dari keluarga Katolik. Agama Katolik, waktu Soegija masih kecil, masih baru sukses membaptis beberapa keluarga Jawa. Soegija terlahir dari keluarga berlatar belakang Islam Jawa. Keluarga Soegija yang berasal dari Surakarta, kemudian hijrah ke Yogyakarta. Di kota itulah Soegija bertemu dengan Romo Franciscus Georgius Josephus van Lith yang sedang merekrut calon murid sekolah guru di Muntilan. Kala itu, Soegija bersekolah di sekolah dasar Volkschool di Lempuyangan, Yogyakarta.

“Pastur van Lith mendatangi sekolah tempat belajar pemuda Soegija,” tulis Anhar Gonggong dalam Mgr. Soegijopranata - Antara Gereja & Negara (1993:10-14). Soegija tak berkeberatan belajar di sekolah katolik milik Serikat Jesuit itu. Pemuda kelahiran 25 November 1896 itu berasal dari keluarga abangan yang dekat dengan Islam. Dia sendiri keturunan Kyai Supa, seorang tokoh Islam terkenal Mataram. Usia Soegija kala itu masih 13 tahun. Tidak lama di sekolah itu, pada 24 Desember 1909, dia pun dibaptis. Dia dapat nama baptis Albertus. Setelah 1915 dia merasa terpanggil untuk menjadi imam Katolik setelah setahun mengajar.

Untuk memperdalam agama Katolik, sejak 1916 hingga 1919, dia menjalani pendidikan imamat. Dia juga belajar dari JAA Mertens soal bahasa Latin dan Yunani. Soegija kemudian belajar di Negeri Belanda juga pada 1919. Sebelum masuk Novisiat, Soegija menyelesaikan dulu pembelajaran bahasa latin dan Yunani di Gimnaisum Orde Salib Suci. Barulah pada 27 September 1920, dia masuk Novisiat Jesuit di Mariendaal, Grave.

“Ia mengikuti pelajaran filsafat di Oudenbosch, lalu mengikuti novisiat (masa percobaan bagi orang yang baru masuk biara),” tulis Harry Poeze dkk, dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008:233).

Tentang Soegija, Poeze mencatat, “pendidikan yang ditempuh Soegija bisa menjadi model bagi pendidikan orang-orang jesuit Jawa angkatan pertama [...] sesudah diterima di dalam ordo tidak langsung melanjutkan ke pendidikan pendeta, melainkan bekerja praktik dahulu. Soegija baru pulang sebagai frater pada 1926 untuk mengajar di Sekolah Guru Muntilan, namun pada 1928 dia kembali lagi Negeri Belanda dan belajar di Maatstricht. Dia baru kembali ke Jawa pada 1933. Dia belakangan dikenal sebagai Albertus Sogijopranoto.

Menurut catatan Poeze, Soegija pernah menulis sebuah cerita bersambung di St Claverland pada 1926. Cerita berjudul "Santoso" itu, berkisah soal perjalanan kaki Santosa dari Kediri ke Muntilan. Santoso ingin belajar di sekolah guru Muntilan. Kisah lakon itu agak mirip kisah hidup Soegija sendiri.

Soegija bukan orang Indonesia pertama yang jadi pastur. Poeze dkk menyebut Fransiscus Xaverius Satiman sebagai “pastor pertama Indonesia.” Tapi, Albertus Soegijopranoto adalah orang Indonesia yang menjadi Uskup pada 1940. Itu adalah titimangsa saat Belanda diserang tentara Jerman.

Paus Pius XII mengangkat Soegija menjadi Uskup Agung untuk daerah Vikariat Apotolik Semarang pada 1 Agustus 1940, dan dilantik pada 6 November 1940. Wilayah apostolik Semarang itu meliputi daerah keresidenan Semarang. Tak hanya kota dan kabupaten Semarang, tapi juga Jepara, Rembang, Temanggung, Magelang, Yogyakarta dan Surakarta.

Kala itu, “Orang Katolik berbangsa Eropa pada tahun 1940 sebanyak 15.824 orang dan orang Katolik pribumi ditambah orang Cina berjumlah 25.278 orang,” catat Anhar Gonggong (1993:36). Pengangkatannya dianggap jalan aman agar agama Katolik yang sebelumnya banyak dipimpin oleh orang-orang Belanda atau Eropa lain itu tak dianggap agama orang Eropa, yang jadi musuh Asia Timur Raya.

Dengan posisi itu, dia harus menjadi pemimpin umat di masa perang, setidaknya sejak Perang Pasifik dan masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Itu adalah satu dekade perang yang banyak mengubah jalan sejarah di Asia dan Afrika. “Kegiatan-kegiatan Mgr Soegijopranoto terutama berupa usaha pemeliharaan dan pembinaan rohani umatnya di tengah pergolakan masa itu,” tulis Romo Budi Subanar dalam pengantar buku Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang: Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J., 13 Februari 1947-17 Agustus 1949.

Infografik Mozaik Romo Soegija


Setiap hari, di masa-masa perang itu, Soegijo mempersembahkan misa. Dia kerap memimpin sakrame-sakramen—mulai dari baptis, tobat, perkawinan. Tak hanya memimpin misa, tapi juga bertemu dengan orang-orang penting. Setelah Perang Dunia II rampung pada 1945, maka Indonesia menyatakan diri merdeka di tahun yang sama. Namun, ambisi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, membuat konlik terjadi antara Indonesia-Belanda.

“Banyak orang-orang Katolik dari daerah Republik yang meninggalkan tempatnya untuk mencari kehidupan yang lebih aman yaitu dengan pindah ke Semarang,” tulis M. Henricia Moeryantini dalam Mgr. Albertus Soegijapranata S.J. (1975:50). Kehidupan di daerah pendudukan Belanda tergolong aman secara ekonomis. Soegijo malah berpikir sebaliknya. Dia memilih sengsara bersama Republik.

Dukungan Mgr Soegijopranoto terhadap Republik Indonesia (RI) sangatlah jelas. Setelah ibukota RI pindah ke Yogyakarta dari Jakarta, Soegijo juga pindah ke Yogyakarta dari Semarang, sejak 13 Februari 1947.

“Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia,” kata Soegija. Kalimat itu belakangan jadi semboyan orang Katolik Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Banyak pemuda terpelajar Katolik yang bergabung dengan Republik, bahkan juga ada yang gugur untuk Republik Indonesia. Sebutlah Agustinus Adisucipto atau Ignatius Slamat Rijadi. Berita sedih, tentang gugurnya Adisucipto ketika ikut pesawat pengangkut obat-obatan tertembak di Yogyakarta, tentu sampai ke Soegija.

Atas serangan militer Belanda dia bereaksi. Apa yang dilakukan Belanda, seperti ditulis JB Sudarmanto dalam Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (2007:442), menurut Soegija hanya “mendatangkan kesusahan dan penderitaan kepada beribu-ribu orang, dan karenanya di masa mendatang tidak menguntungkan bagi kerja sama yang diharapkan akan berlangsung hangat atas dasar persamaan derajat menurut hukum dan keadilan.”

Soegijapranoto dianggap berjasa dalam mendapatkan dukungan dari Tahta Suci Vatikan untuk kemerdekaan Indonesia. “Negara Vatikan adalah salah satu dari negara-negara (Eropa) yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia,” tulis FX Murti Hadi Wijayanto dalam Soegija in Frame (2012:138). Saat itu Georges Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d'Ardoye menjadi perwakilan Vatikan untuk Indonesia.

Setelah pengakuan kedaulatan 1949 dan tentara Belanda diharuskan angkat kaki, Soegija kembali ke Semarang. Soegija terus memimpin umat Katolik, termasuk di masa perseteruan orang-orang Katolik dengan orang-orang komunis yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Romo Soegija dikenal sebagai pastor yang memakai kebudayaan lokal Indonesia, khususnya Jawa, dalam membumikan Katolik di Indonesia. Dia membolehkan wayang dan juga gamelan dalam dakwah-dakwah katolik.

Romo Soegija meninggal pada 22 Juli 1963, tepat hari ini 55 tahun lalu, di sebuah biara di Steyl, Belanda. Dua bulan sebelum meninggal, pada 30 Mei 1963, ia menghadiri pemilihan Paus di Vatikan—saat itu Paulus VI yang terpilih. Setelah itu, Soegija mampir ke Belanda dan jatuh sakit di sana hingga ia meninggal.

Seperti diungkap Anhar Gonggong (hlm. 124), Sukarno tidak menghendaki Romo Soegija dimakamkan di Belanda. Akhirnya, jenazah lelaki kelahiran 25 November 1896 itu diterbangkan ke Indonesia dan dikebumikan sebagai Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

Romo Van Lith

Oleh: Ign. L. Adhi Bhaskara - 9 Januari 2019
Dibaca Normal 4 menit
Frans van Lith adalah sosok sentral di balik berkembangnya Katolik di Jawa. Ia membaurkan ajaran Kristus dengan tradisi lokal.
tirto.id - Jika ada pertanyaan dari mana muara penyebaran agama Katolik di Jawa, maka Muntilan boleh jadi adalah jawabannya. Di kota inilah Katolik mulai bertumbuh serta menyebar lebih deras. Fransiscus Georgius Josephus van Lith, atau dikenal dengan Frans van Lith, SJ merupakan salah satu tokoh utama di baliknya.

Lahir pada 17 Mei 1863 di Oirschot, sebuah desa di Brabant, Belanda, van Lith kecil tumbuh di lingkungan Katolik yang cukup kuat. Pada usia 12 ia kemudian mengungkapkan keinginannya menjadi seorang imam. Tiga tahun pendidikan teologi ia lalui dan pada 8 Desember 1894 van Lith resmi ditahbiskan menjadi imam.

Indonesia sesungguhnya bukanlah tempat yang ingin ia tuju sebagai misionaris. Seperti ditulis Gregorius Budi Subanar, SJ dalam Kilasan Kisah Soegijapranata (2012), van Lith muda sesungguhnya lebih ingin untuk diutus di benua Eropa.

Harapan tinggal harapan. Kongregasinya memutuskan untuk mengutus van Lith ke Jawa Tengah bersama rekannya, Petrus Hoevenaars. Van Lith memegang wilayah misi di Muntilan, sementara Hoevenaars ditugaskan untuk melakukan misi di Yogyakarta. Tugas pertama mereka satu: mempelajari bahasa dan budaya setempat.

Dalam A History of Christianity in Indonesia (2008) karya Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink, van Lith tercatat tiba di Hindia Belanda pada 4 Oktober 1896 untuk kemudian belajar bahasa Jawa di Semarang, Jawa Tengah.

Itulah awal mula perjalanan van Lith mengenal kebudayaan Jawa dan tak butuh waktu lama baginya untuk mengagumi kebudayaan tersebut. Pada 1897 barulah ia pindah ke Muntilan. Kecintaannya pada budaya Jawa membuat ia fasih berbicara bahasa Jawa.

Sekolah Guru yang Membumi

Yang dilakukan van Lith bersama Hoevenaars pertama-tama adalah mendirikan sekolah. Hoevenaars waktu itu belum dapat memasuki Yogyakarta dan menetap di Mendut. Sekolah itu diberi nama Xaverius dengan sistem pendidikan kolese (college) dan secara resmi didirikan pada 1904.

Pendekatan yang ia pakai kala itu mungkin jarang ditemui di sekolah-sekolah masa kini yang lebih menekankan pada identitas keagamaan ataupun model-model pendidikan yang hanya mengacu pada dunia Barat. Masih dari tulisan Jan Sihar dan Karel, van Lith ingin agar sekolahnya tetap dekat dengan kultur Jawa, namun pada saat yang bersamaan juga memasukkan pendekatan bahasa Belanda serta pendidikan modern ala Barat yang makin terlihat penting menjelang abad ke-21.

Budi menuliskan pendekatan van Lith ini dengan ungkapan manjing ajur ajer yang berarti “menyatu dan tidak berjarak, sepenuhnya memahami pola pikir dan menghayatinya dalam perilaku sebagaimana orang-orang yang dilayaninya.”

Dalam pembelajaran, misalnya, seperti dilansir Kompas, van Lith memasukkan unsur-unsur kearifan lokal seperti bahasa Jawa dan gamelan kepada para murid sekolah tersebut.

Kendati nyata bahwa van Lith memang membawa misi Katolik melalui Kolese Xaverius, sekolah itu tidak pernah meminta murid-muridnya untuk menjadi Katolik. Tujuan utama van Lith, menurut Jan Sihar dan Karel, memang ingin mendidik masyarakat Jawa untuk menjadi guru, meski mereka juga memberi kesempatan kepada para muridnya untuk mengambil kursus ajaran Katolik.

Intensi van Lith untuk mendirikan sekolah ini tertuang dalam salah satu suratnya yang ditulis pada 1904. Dalam surat itu ia menyebutkan: “Usaha misi di antara bangsa Jawa mulai dengan metoda yang salah: Mewartakan Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung dari pendidikan pemimpin dan guru.”

Sekolah yang dibangun van Lith itu—kemudian dikelola para Jesuit—memang menawarkan kurikulum pendidikan untuk guru. Jan Sihar dan Karel menuliskan bahwa upaya van Lith untuk mendirikan sekolah tersebut bahkan kemudian mendapat pengakuan dari pemerintahan Belanda.

Tak hanya di ranah pendidikan, van Lith juga kerap berada dalam garda depan pembela rakyat. Budi menuliskan bahwa van Lith pernah memberikan komentar keras kepada golongan Kristen Belanda terkait perlakuan tidak adil mereka pada rakyat Jawa ketika menjadi anggota heerzening committee (komite yang bertugas meninjau kembali pembentukan pemerintahan baru Belanda di wilayah kependudukan).

“Keinginan untuk mendominasi orang Jawa, hanya karena ia seorang Jawa, sama halnya dengan bermain api. Hargailah hak-hak orang pribumi kalau kamu juga menginginkan hak-hakmu diakui,” sebut van Lith.

Sikap pro-rakyat inilah yang kemudian diturunkan pada murid-murid di sekolah yang didirikannya.

Daniel Dhakidae dalam Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) menyebutkan bahwa sekolah ini akhirnya menjadi “ajang kesadaran nasionalis.” Dari Kolese Xaverius itu memang kemudian muncul tokoh-tokoh nasional yang memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia, seperti Ignatius Joseph Kasimo dan Albertus Soegijapranata.

Kasimo menjadi pemimpin dan salah seorang pendiri partai Katolik yang mendukung Republik Indonesia setelah kekalahan Jepang. Soegijapranata, sementara itu, kelak menjadi uskup Indonesia pertama yang berkedudukan di Semarang. Terkenal dengan jargon “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia,” ia pernah terlibat penyelesaian damai dari Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Selain itu, berkat upaya Soegjia yang selalu memberikan laporan-laporan mengenai Indonesia ke Vatikan, negara tersebut menjadi satu dari beberapa negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia.


Mengalir dari Sendangsono

Langkah lain untuk membuat Katolik menjadi lebih pribumi juga dilakukan van Lith ketika ia mengubah Sendangsono, Kalibawang, Jawa Tengah menjadi tempat ziarah bagi umat Katolik.

Herman L. Beck dalam studinya berjudul “Back to Sendangsono: A Marian Pilgrimage Site as a Lens on Central Javanes Cultural Values” menuliskan, sebelum kedatangan van Lith, Sendangsono yang merupakan satu dari banyak mata air di pegunungan Menoreh merupakan tempat yang lekat dengan cerita rakyat tentang Dewi Lantamsari. Dalam bahasa Jawa, sendang memang berarti mata air, dan sono merupakan sebuah jenis pohon.

Dikisahkan bahwa Dewi ini memiliki putera bernama Raden Bagus Samijo meski ia merupakan seorang perawan. Keduanya dipercaya masyarakat setempat menjadi penjaga dan pelindung mata air tersebut.

Masyarakat Kalibawang yang mayoritas Muslim percaya bahwa mata air tersebut memiliki kekuatan gaib dan membawa keberuntungan. Banyak pula orang yang menjadikan tempat ini sebagai tempat pengajaran ilmu gaib, selain menjadi tempat peristirahatan bagi biarawan Buddha.

Di daerah tersebut, agama kristen juga turut berkembang melalui masuknya misionaris Protestan Belanda. Dari sana, muncullah tokoh lokal bernama Sadrach, seorang Muslim yang menjadi pemeluk Kristen, yang merasa bahwa ajaran Kristen dan adat Jawa dapat berjalan beriringan.


Herman menuliskan bahwa pandangan ini kemudian diadopsi masyarakat Jawa, sementara misionaris Belanda cenderung tidak dapat menerimanya. Alhasil, timbullah konflik di antara mereka. Dari Sadrach lah van Lith kemudian belajar mengenai praktik inkulturasi dalam Kristen.

Ada dua langkah yang dilakukan van Lith di Sendangsono. Pertama, ia menggunakan prinsip-prinsip adaptasi. Kedua, bersama dengan Sadrach serta pendukungnya, ia menggaet sejumlah pemimpin masyarakat dalam upaya menyebarkan ajaran Katolik di Kalibawang.

Terdapat dua tokoh setempat yang lahir dari upaya van Lith itu dan kemudian memiliki peran vital bagi perkembangan Katolik di Kalibawang: Barnabas Sarikromo dan Dawud Tadikromo. Keduanya menjadi penasihat bagi van Lith mengenai adat dan kebiasaan penduduk setempat sehingga van Lith dapat menghindari perilaku yang dapat menyinggung mereka.

Terkait inkulturasi, van Lith, misalnya, melihat banyak kesamaan dari kisah Dewi Sri, Dewi Lantamsari, dan Maria. Menggunakan kesamaan tersebut, ia secara bertahap membuat masyarakat Kalibawang familier dengan ajaran Katolik.



Infografik Mozaik Romo Van Lith


Contoh lainnya, van Lith, melalui nasihat dari Sarikromo, juga menggelar selawatan (pembacaan salawat) ala Katolik yang didasarkan pada kisah-kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di Alkitab.

Sarikromo memang bercerita pada van Lith bahwa masyarakat setempat senang mendengarkan musik gamelan dan menggelar selawatan. Tak hanya itu, ia juga melakukan riset untuk melihat apakah ada seni dan musik Jawa lain yang cocok untuk mengajarkan agama Katolik.

Van Lith meninggal pada 9 Januari 1926, tepat hari ini 93 tahun lalu. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman Kerkoff, Muntilan, dekat dengan sekolah yang ia dirikan. Kini sekolah tersebut tak lagi dikenal sebagai Kolese Xaverius, namun Sekolah Menengah Atas (SMA) Pangudi Luhur van Lith.

Pada 2016, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan Satyalencana Kebudayaan kepada van Lith. Penghargaan itu diberikan padanya sebagai apresiasi atas perjuangannya memajukan sistem pendidikan di Indonesia.