Senin, 29 Oktober 2018
Minggu, 28 Oktober 2018
Kamis, 25 Oktober 2018
Rabu, 24 Oktober 2018
Gereja Rusak Akibat Gempa Palu, Umat Katolik Misa Minggu di Gazebo
Gereja Rusak Akibat Gempa Palu, Umat Katolik Misa Minggu di Gazebo
Oktober 9, 2018
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gempa yang mengguncang Kota Palu serta Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong pada 28 September lalu itu sejauh ini menewaskan 1.948 orang dan merusak hampir 70.000 bangunan.
Selain itu, sekitar 2.600 orang mengalami luka parah dan lebih dari 62.300 orang mengungsi. Sebanyak 5.000 orang diperkirakan hilang.
“Gempa memang mengguncang (banyak bangunan) termasuk gedung gereja. Tetapi lebih dari itu, (gempa) mengguncang Gereja dalam arti umat Allah. Sehingga keduanya saling mendukung dan menjadi satu yaitu trauma,” kata Pastor Johanis Salaki MSC, pastor Paroki St. Maria Bunda Hati Kudus di Palu, kepada ucanews.com via telepon pada Senin (8/10).
“Jadi mereka menyaksikan gedung gereja mereka diguncang dan ada kerusakan. Jiwa mereka juga terbawa oleh peristiwa ini. Sehingga mereka – dengan menyaksikan sebagian besar bangunan yang rusak – berusaha menghindar dan tidak mau masuk ke dalam bangunan yang rusak,” lanjutnya.
Menurut imam itu, gempa susulan masih terus terjadi. Dan setiap ada getaran, umat Katolik berlari menuju halaman terbuka.
BNPB mencatat 546 gempa susulan sejak gempa mematikan mengguncang wilayah itu. Bahkan pada Selasa (9/10), wilayah itu kembali diguncang oleh gempa bermagnitudo 5,2.
“Trauma ini menjadi sangat kompleks. Bukan hanya ketakutan, tetapi dengan memandang bangunan yang rusak mereka ingin menjauh dari pandangan itu. Sehingga jangan heran, sebagian besar umat saya di sini memilih untuk keluar dari zona penglihatan bangunan yang rusak itu,” kata Pastor Salaki.
Oleh karena itu, setelah berkonsultasi dengan Uskup Manado Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC, Pastor Salaki memutuskan untuk mengadakan Misa Minggu di gazebo yang terletak di halaman gereja paroki.
“Demi keamanan bersama, maka Misa Minggu dialihkan dari dalam gedung gereja menjadi di luar gedung gereja sehingga umat menjadi lebih tenang dalam beribadah,” lanjutnya, seraya mengatakan bahwa Misa Minggu di gazebo sudah diadakan sejak dua minggu lalu.
Selain Misa Minggu, Misa harian juga diadakan di gazebo pada pagi hari. “Pada sore hari jam 18.00 WITA ada doa Rosario untuk pengungsi. Doa ini diadakan selama bulan ini. Sembari mereka diobati secara jasmani, kebutuhan rohani juga dipenuhi. Jadi ada keseimbangan,” katanya.
Pastor Salaki menambahkan bahwa setiap Misa Minggu di gazebo dihadiri oleh sekitar 150 umat Katolik. “Gazebo ini beratapkan multi-roof, berkerangka besi baja, berpilar besi kuat. Lantainya tetap keramik. Gazebo ini tidak terdampak oleh gempa.”
Sementara itu, katanya, gedung gereja paroki mengalami kerusakan. Ada sekitar empat tiang yang miring dan ada keretakan di beberapa bagian tertentu. Selain itu, ornamen marmer yang terletak di bagian atap di atas panti imam juga roboh.
“Saya bisa mengatakan dan ini sesuai data, gereja St. Maria Bunda Hati Kudus Yesus di Palu adalah gereja terbesar di Keuskupan Manado. Gereja ini memiliki tiang-tiang yang besar,” katanya.
Keuskupan Manado memiliki 62 paroki di delapan kevikepan. Di Kota Palu saja terdapat dua paroki: Paroki St. Maria Bunda Hati Kudus dan Paroki St. Paulus.
Pastor Salaki mengatakan ia akan meminta bantuan pemerintah setempat untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi gedung gereja sebelum melakukan renovasi.
Hal serupa dialami oleh umat Protestan di Kota Palu.
Menurut Pendeta Samuel Seri dari Gereja Pentakosta Indonesia di Kota Palu, kebaktian Minggu diadakan di bawah tenda yang didirikan di halam gereja yang mengalami kerusakan akibat gempa.
“Plafon gereja ambruk dan dinding retak-retak,” katanya kepada ucanews.com via telepon.
Trauma pun masih menghantui jemaat gereja tersebut. “Hanya 30-an jemaat yang hadir. Sebagian besar telah mengungsi ke daerah lain seperti Manado dan Makassar,” lanjutnya.
Mgr Tri: Gereja Katolik Harus Terbuka
Mgr Tri: Gereja Katolik Harus Terbuka
https://indonesia.ucanews.com/2018/10/17/mgr-tri-gereja-katolik-harus-terbuka/
Oktober 17, 2018
Uskup Purwokerto Mgr Christophorus Tri Harsono yang ditahbiskan pada Selasa (16/10) menekankan pentingnya nilai-nilai yang tertuang dalam dokumen Konsili Vatikan II, Nostra Aetate (Pada Zaman Kita), khususnya tentang ajaran untuk tidak mengagungkan diri dan lebih terbuka.
Upacara tahbisan itu digelar di Graha Widyatama Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Lebih dari 5.000 umat Katolik serta ratusan uskup, imam dan biarawati menghadiri acara tersebut.
Sebelum ditahbiskan sebagai uskup Purwokerto, Mgr Tri – yang kini berusia 52 tahun – berkarya sebagai vikaris jenderal Keuskupan Bogor di Propinsi Jawa Barat.
Mgr Tri menggantikan Mgr Julianus Kema Sunarka SJ yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai uskup Purwokerto pada Desember 2016 setelah menginjak usia 75 tahun atau usia pensiun.
“Sebenarnya dalam Nostra Aetate diajarkan keunggulan Gereja Katolik: tidak boleh mengunggulkan diri dan harus terbuka terhadap orang lain. Makanya mau tidak mau toleransi atau yang disebut juga menghargai orang lain adalah kekhasan Gereja Katolik,” kata Mgr Tri kepada ucanews.com.
Nostra Aetate adalah sebuah deklarasi tentang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen. Dokumen ini dideklarasikan oleh Paus Paulus VI pada 28 Oktober 1965.
“Saya ingin berteman dengan siapa pun, saya ingin bersahabat dengan siapa pun. Tidak hanya mempromosikan saja, tapi saya menunjukkan. Kalau saya hanya promosi, tidak diikuti. Tapi saya datang, bergaul, ngopi-ngopi bersama,” lanjut prelatus itu.
“Ini akan lebih baik dibanding formalitas pertemuan FKUB, pertemuan dialog antaragama, dsb,” katanya.
Ditahbiskan sebagai imam diosesan pada 1995, Mgr Tri pernah mengenyam Studi Bahasa dan Budaya Arab di Kairo, Mesir, dan di Institut Kepausan untuk Studi Bahasa Arab dan Islam di Roma, Italia.
Ia juga pernah berkarya sebagai ketua Komisi Hubungan Antar-Agama dan Kepercayaan Keuskupan Bogor dan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Propinsi Jawa Barat.
“Saya harus menyatukan yang namanya kebangsaan kita: ‘100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.’ Itu yang memang harus diperjuangkan. Kalau kita sendiri tidak mengenal ke-Katolik-an kita, kita juga tidak dikuatkan oleh ke-Katolik-an kita, kita juga tidak bangga dengan ke-Katolik-an kita, bagaimana mungkin kita bisa membaur dengan bangsa atau kelompok atau agama lain?” kata Mgr Tri.
“Contohnya Pancasila, (ini) sebenarnya bisa menyatukan kebhinnekaan. Masak Roh Kudus tidak bisa. Roh Kudus lebih dari pada itu. Jadi saya memang harus benar-benar menekankan konsep tentang Allah yang benar dulu. Kalau sudah benar, umat dengan sendirinya pasti inklusif,” lanjutnya.
Menurut Mgr Tri, toleransi merupakan suatu keniscayaan. “Ini bukan sesuatu yang mustahil. Ini memang kebutuhan orang Katolik,” tegasnya.
Selain itu, uskup baru yang memilih motto tahbisan “Fiat mihi secundam verbum tuum” (Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu – bdk. Lukas 1:38), itu akan menggunakan waktu satu tahun ke depan untuk mengunjungi para imam, khususnya imam diosesan.
“Saya pertama-tama mau mengenal dulu semuanya. Tidak ada program, tidak ada prioritas apa pun. Maka saya hanya menyampaikan bahwa saya mau mengenal semua dulu: paroki, umat, yayasan. Tapi terutama imam-imamnya. Saya akan datang ke semua imam, satu per satu, saya tidak memanggil, saya akan hadir. Utamanya itu,” kata Mgr Tri.
“Baru datang saja sudah banyak permasalahan, internal. Para imamnya, terutama bukan imam tarekat, ordo atau kongregasi, tapi imam diosesannya,” lanjutnya.
Agustinus Bambang Murdoko dari Paroki St. Stefanus di Cilacap menyambut baik rencana Mgr Tri terkait kunjungan kepada para imam.
“Harapan saya uskup yang baru bisa mempertahankan jumlah imam dan memperbanyak panggilan. Umat betul-betul membutuhkan sosok imam,” katanya kepada ucanews.com.
“Jumlah imam semakin lama semakin berkurang. Jumlah panggilan diharapkan bertambah subur. Saya tidak ada data, tapi secara umum yang saya lihat jumlah imam banyak mengalami penurunan karena banyak imam keluar karena masalah krusial,” lanjutnya.
Keuskupan Purwokerto memiliki sekitar 61.000 umat Katolik di 25 paroki yang dilayani oleh 46 imam diosesan, 35 imam religius, 145 biarawati dan 24 bruder.
Uskup Purwokerto Mgr Christophorus Tri Harsono. (Foto: Panitia tahbisan)
Selasa, 23 Oktober 2018
3 Alasan Seorang Katolik Berlutut Ketika Masuk Gereja
Oleh Romo Mike Schmitz
BERLUTUT - (Sumber:findinggodwithin.org) Pernahkan Anda memerhatikan beberapa
orang ketika masuk gereja, berjalan masuk ke dalam sebuah gereja
Katolik, dan sebelum mereka menuju tempat duduk, mereka melakukan
gerakan berlutut? Atau semacam gerakan setengah berlutut yang
tergesa-gesa kemudian masuk ke tempat duduk. Beberapa orang, mereka
berhenti dan merendahkan diri sampai berlutut. Ya, itulah yang kami
harapkan. Gerakan setengah berlutut itu mungkin suatu usaha untuk
berlutut.
Ketika Anda masuk ke dalam gereja, tepat
sebelum masuk ke tempat duduk, Anda biasanya berlutut dengan satu kaki.
Apa artinya? Suatu pertanyaan bagus.
Berlutut (genuflection) berasal dari dua suku kata bahasa Latin yang digabungkan yaitu genu- dan -flection atau semacam itu (tepatnya genu dan flectere). Genu artinya “lutut” dan flectere artinya “menekuk” jadi sederhananya “menekuk lutut.”
Jadi ketika Anda masuk ke gereja sebelum
menuju tempat duduk, kami berlutut – menekuk lutut, terhadap tabernakel,
terhadap Yesus sendiri dalam tabernakel. Nah, jika Anda memasuki gereja
yang tidak memiliki tabernakel tetapi memiliki altar tepat di depannya,
pada kasus ini Anda bisa MEMBUNGKUK, karena kita membungkuk kepada
altar yang merupakan simbol dari Yesus.
Ekaristi bukanlah sebuah simbol akan
Yesus. Ekaristi ADALAH Yesus, jadi kita sepenuhnya berlutut bagi-Nya.
Mengapa beberapa orang sepertinya melakukan gerakan setengah berlutut
dan beberapa orang lagi sangat mengetahui apa yang mereka lakukan? Saya
kira mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Jadi apa maksud di
balik berlutut itu?
Saya berkata tentang sesuatu yang tubuh
saya lakukan terhadap Allah dalam tabernakel, berkata tentang sesuatu
dengan tubuh kita terhadap Yesus dalam Ekaristi. Apa yang saya katakan?
Saya berkata sedikitnya satu hal dari tiga hal, mungkin ketiga hal itu
pada saat yang bersamaan.
Pertama, berlutut dengan
menekukan lutut kita, adalah tindakan kerendahan hati. Kasarnya
demikian, “OK, Yesus dalam Ekaristi adalah Allah. Saya bukanlah allah.”
Dan pada saat itu kita berkesempatan untuk merendahkan diri sampai
berlutut seperti seorang hamba di hadapan rajanya, seperti seserang di
hadapan Tuhannya, dan berkata, “Engkaulah Allah, Engkaulah Tuhan.” Jadi,
ketika berlutut di depan tabernakel, apa yang kita katakan adalah,
“Engkaulah Allah, bukan saya.” Itulah sikap kerendahan hati, sekaligus
sikap dari tindakan kita. Itulah sikap dari komitmen diri kita sendiri
terhadap pelayanan kepada Tuhan, dan yang saya maksudkan adalah kembali
ke masa lalu, ketika para ksatria berjanji untuk melayani rajanya, apa
yang mereka lakukan adalah mereka berlutut, secara hakikatnya mereka
bertekuk lutut di hadapan raja sambil berkata, “Saya menjanjikan
pedangku kepadamu.” Dan inilah yang saya pikir sebagai hal yang luar
biasa dalam film “The Lord of the Rings,” ingat ketika mereka
berada di Rivendell, dan mereka menemukan cincinnya, dan kita harus
menghancurkannya di Mordor dan siapa yang akan melakukannya? Kemudian
Frodo berkata, “Baik, saya akan melakukannya walaupun saya tidak tahu
caranya. Saya tidak tahu bagaimana caranya ke sana.” Jika dia pergi
sendiri, dia akan mati. Aragorn berlutut di hadapan Frodo dan berkata,
“Jika dengan hidup dan matiku saya dapat membantumu menyelesaikan tugas
ini, maka Anda memiliki pedang saya.” Dia berlutut. Jadi yang pertama
adalah kerendahan hati, tepat di hadapan Yesus dalam Ekaristi.
Alasan kedua adalah
“Saya siap melayani-Mu.” Apa yang Anda katakan ketika Anda berlutut
ketika memasuki gereja dan ketika keluar dari gereja adalah, “Tuhan
Yesus jika dengan hidup dan matiku, saya bisa membantu Engkau untuk
menuntaskan tugas yaitu misi-Nya untuk menebus dunia, membawa terang ke
kegelapan, membawa harapan kepada mereka yang putus asa, membawa
pemulihan kepada yang hancur, maka Engkau mempunyai hidupku.” Jadi, yang
pertama adalah gerakan ungkapan kerendahan hati. Yang kedua adalah
gerakan untuk melayani,
Yang ketiga adalah
gerakan kasih, pikirkanlah hal ini: dalam kebudayaan kita kapankan
seorang pria muda akan berlutut di hadapan seorang wanita yang ia
cintai? Yaitu ketika dia melamarnya, ketika dia berkata, “Bersediakah
kamu menerima saya sebagai suamimu untuk seumur hidupmu?” atau
“Bersediakah kamu memberi kehormatan bagi saya untuk menghormati dan
mencintaimu untuk seumur hidupku?” Ketika Anda memasuki gereja dan
meninggalkan gereja, ketika berlutut di hadapan Yesus dalam Ekaristi.
Yang anda katakan, bukan hanya tindakan kerendahan hati dan tindakan
melayani. Tapi juga tindakan kasih. Yesus, saya mengasihimu. Bolehkah
saya mengasihimu dengan segenap hidupku? Ketika Anda berlutut, yang kita
katakan, “Engkaulah Allah, bukan saya.” Apa yang kita katakan, “Yesus,
jika dengan hidup atau matiku, saya bisa membantu Engkau menuntaskan
misi-Mu menebus dunia, maka pergunakanlah saya.” Dan nomor tiga, Yesus
saya mengasihimu. Biarkan saya mengasihimu segenap hidupku.
Jadi ketika kita mengetahui apa di balik
gerakan-gerakan selama Misa, maka akan mengubah segalanya. Melakukan
gerakan yang sama, namun bukan lagi melakukannya dengan gerakan saja,
tapi melakukan gerakan yang bermakna.
Sumber: “3 Reasons Catholics Genuflect” dengan sedikit penyesuaian
Duduk, Berdiri, dan Berlutut – Arti Simbolis Seluruh Tata Gerak Misa
Oleh Lorelei Savaryn
Berlutut. Berdiri. Duduk. Berdiri. Duduk. Berlutut. Berdiri. Duduk. Berdiri. Wah!
Ketika orang-orang non-Katolik menghadiri
Misa Katolik, mereka berpikir keras tentang sikap-sikap tubuh yang
dilakukan umat Katolik. Kata-kata seperti, “Oh, berdiri lagi.” Dan
“Kenapa kita berlutut?” dan “Apakah salah jika kita berlutut tetapi
(maaf –red.) bokong kita masih menempel di kursi, terutama jika saya tidak yakin kenapa saya berlutut karena duduk di baris pertama?”
Saya tahu sekali bahwa orang-orang
non-Katolik akan memikirkan hal-hal tersebut, karena saya dulu bukan
seorang Katolik, dan itulah yang ada di benak saya. Saya tidak tahu apa
yang sedang mereka lakukan, ataupun mengapa mereka melakukannya. Saya
hanya berusaha mengikutinya!
Sekarang, sebagai seorang Katolik, salah satu hal yang saya tumbuhkan untuk menghormati Misa adalah bagaimana setiap hal itu memiliki makna.
Setiap tata gerak, sikap, kata-kata yang diucapkan, dan apa yang
dilakukan itu memiliki makna. Semakin memahami tentang apa yang
dilakukan selama Misa, maka Anda akan semakin bisa menghormati
keindahannya.
Itulah sebabnya artikel ini berfokus tentang “mengapa” harus duduk, berdiri, dan berlutut dalam Misa Katolik.
Duduk
Duduk adalah sikap mendengarkan.
Umat Katolik duduk ketika bacaan pertama (seringkali dari Perjanjian
Lama), Mazmur (seringkali dinyanyikan), dan bacaan kedua (Perjanjian
Baru tetapi bukan dari Injil). Kita juga duduk ketika persembahan dan
homili (khotbah).
Kita duduk, siap untuk mendengarkan dan menerima (Sabda Tuhan –red.). Kita duduk untuk menyimak.
Berdiri
Ketika berdoa: Berdiri adalah
sikap doa bagi orang Yahudi sejak sebelum zaman Yesus. Berdiri selama
berdoa juga dapat dilihat di berbagai perikop dalam Alkitab. Jadi,
sebagai seorang Katolik, kita meneruskan untuk menggunakan sikap itu
untuk berdoa sampai hari ini.
Beberapa contoh sikap berdiri ketika Misa
untuk berdoa diantaranya: Ketika doa pembukaan (dipimpin oleh imam),
berdoa Bapa Kami (sebagai satu jemaat), dan Doa Umat (doa permohonan
untuk jemaat).
Ketika Syahadat: Kita berdiri
ketika mengucapkannya bersama-sama tentang apa yang dipercayai oleh umat
Kristen sejak awal mula, dalam bentuk Syahadat Nicea atau Shayadat Para
Rasul. Kita berdiri untuk menegaskan kesatuan kita dan kepercayaan kita
bersama-sama sebagai umat Kristen.
Ketika Bacaan Injil: Berdiri
juga menandakan sebagai tanda hormat. Kita mempunyai beberapa bacaan
dari Alkitab selama Misa, namun kita berdiri ketika Bacaan Injil sebagai
penghormatan khusus, karena di sanalah sabda dan perbuatan Yesus
sendiri berada.
Ketika Prosesi (Perarakan): Kita
berdiri di awal dan akhir Misa, juga bermaksud sebagai tanda hormat
kepada selebran (Imam atau Uskup yang merayakan Misa) yang berarak masuk
di awal Misa dan berarak keluar ketika Misa selesai.
Berlutut
Ketika kita masuk (ke dalam gereja –red.)
untuk merayakan Misa, kita berlutut dengan menekuk lutut di mana salah
satu kaki kita menyentuh lantai. Kita dengan rendah hati mengakui
kehadiran Yesus dalam tabernakel, dalam Ekaristi.
Umat Katolik percaya bahwa Yesus
sungguh-sungguh hadir dalam tubuh, darah, roh dan keilahian-Nya dalam
Ekaristi, yaitu dalam Komuni Kudus. Kita percaya ketika Yesus berkata,
“Inilah tubuh-Ku,” maka Dia memaknainya secara harafiah. Yesus yang
terselubung di balik kehadiran-Nya dalam rupa roti dan anggur, namun
kehadiran-Nya benar-benar nyata dan sepenuhnya ada di sana. Hal ini
adalah yang dipercaya oleh umat Kristen perdana, dan diteruskan untuk
dipercayai sampai dengan hari ini dalam agama Katolik. Jadi, kita
mengakuinya dengan melakukan sikap berlutut. Baca juga artikel “3 Alasan Seorang Katolik Berlutut Ketika Masuk Gereja” oleh Romo Mike Schmitz untuk mengetahui lebih lanjut alasannya.
Berlutut adalah sikap menghormati dan menyembah.
Saat-saat lain ketika kita berlutut adalah selama persiapan untuk dan
sebelum dan sesudah penerimaan Ekaristi (Tubuh dan Darah Kristus dalam
Komuni Kudus). Kita berlutut lagi karena kita percaya bahwa Yesus secara
penuh dan benar-benar hadir dalam Komuni. Jika Anda percaya akan
kehadiran nyata Kristus sendiri, maka berlutut akan menjadi hal yang
wajar untuk dilakukan – mungkin kalau mungkin sujud menyembah sampai
yang paling rendah.
Jadi, kita selalu berlutut ketika Misa
pada bagian ini, dan kami tetap berlutut sampai Elemen-elemen itu (Tubuh
dan Darah Kristus) disimpan kembali di tabernakel, dan kemudian
tabernakel itu ditutup.
Kesimpulan
Setidaknya Anda tahu bahwa kita sebagai umat Katolik tidak hanya bingung dengan apa yang dilakukan oleh tubuh kita selama Misa!
Dan artikel ini hanyalah penjelasan yang
sangat dasar tentang apa yang kita lakukan dengan tubuh kita seluruhnya.
Ada sejumlah gerakan lain yang dilakukan oleh jemaat dan juga yang
dilakukan selebran dalam setiap Misa yang memiliki makna tambahan.
Bagaimana kita menggerakan tubuh kita
mempengaruhi dan mencerminkan keadaan pikiran kita. Contohnya, menunduk
bisa menjadi cerminan kesedihan seseorang, atau kurang percaya diri,
atau malu, dan bisa membuat orang lain melakukan sikap yang sama.
Sementara itu, sikap berdiri tegak dapat mencerminkan sikap bangga, atau
percaya diri, atau berani. Dan contohnya, jika Anda tidak merasa berani
namun melakukan sikap tubuh berani, maka bisa membantu untuk menjadi
berani. Nah, sikap tubuh ketika Misa juga bisa mencerminkan keadaan
pikiran seseorang, dan juga bisa membantu Anda untuk menempatkan diri
Anda dalam pikirian yang benar.
Dan juga, baik ketika Misa maupun di luar
waktu Misa, perubahan sikap tubuh hanya untuk asal bergerak saja sangat
tidak membantu siapapun. Jika Anda duduk, berdiri, dan berlutut ketika
Misa pada saat yang tepat, namun hati Anda tidak berada di dalamnya,
atau perhatiaan Anda terganggu, ataupun tidak fokus pada mengapa diri
Anda melakukan sikap tubuh itu, maka Anda tidak akan mendapatkan manfaat
dari makna sikap tubuh yang dilakukan. Tapi jika Anda mengikuti Misa
dan berlutut menghadap tabernakel, karena Anda dengan rendah hati
mengakui kehadiran Kristus di sana, dan jika Anda duduk dengan niat
untuk mendengarkan dengan segenap akal budi, tubuh, dan jiwa, dan jika
Anda berdiri, dan hati Anda berfokus terhadap doa, dan jika Anda
berlutut mengakui kehadiran Juruselamat Anda, maka kemudian Anda akan
mendapatkan sesuatu.
Sebagaimana dalam seluruh struktur dalam
Misa, dan dalam agama Katolik secara keseluruhan, ada banyak sekali cara
untuk membantu menggerakkan hati, akal budi, dan jiwa Anda dalam
membangun hubungan yang lebih intim dengan Yesus.
Tapi Anda tidak bisa menjalin hubungan itu hanya dengan melalui gerakan saja.
Dan bila Anda benar-benar terlibat, dan
menerima serta merangkul makna di balik apa yang Anda lakukan, maka
rahmat dan sukacita dan kelimpahan akan tersedia bagi Anda dalam Misa
dan dalam Gereja Katolik yang sangat indah, dan satu-satunya yang
membawa Anda lebih dekat kepada Juruselamat Anda.
Bagaimana Membuat Tanda Salib Sebelum Bacaan Injil
Posted by Terang Iman - https://terangiman.com/2018/05/19/bagaimana-membuat-tanda-salib-sebelum-bacaan-injil/
Oleh Philip Kosloski
“Lebih dari sekedar gerakan rutin, tapi lebih dalam lagi ke dalam simbolisme alkitabiah.”
Bagi umat Katolik Roma, ada suatu gerakan
cepat yang seringkali tidak diperhatikan sebelum pembacaan Injil dalam
Misa. Sebuah penelusuran yang ringkas tentang tanda salib yang bukan
gerakan khas yang biasa kita dilakukan (Tanda Salib/Signum Crucis) dan berisikan banyak simbolisme.
Gerakan itu secara langsung meniru apa yang diakon (atau imam ketika diakon tidak ada) lakukan sesuai dengan pedoman (PUMR – red.)
sebelum pembacaan Firman dari Injil. Dalam Misa Romawi tertulis,
“Kemudian, dengan ibu jari kanan, pertama kali membuat tanda salib pada
buku pada permulaan Injil sebelum dibacakan, dan kemudian pada dirinya
sendiri di dahi, mulut, dan di dada.”
Sebelum itu, jika seorang diakon akan
mewartakan Injil, (jika ada imam) imam akan memberikan dia berkat dengan
mengucapkan doa berikut ini:
“Semoga Tuhan berada dalam hatimu dan bibirmu,
sehingga kamu dapat mewartakan Injil dengan pantas dan baik,
dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.”
sehingga kamu dapat mewartakan Injil dengan pantas dan baik,
dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.”
Dengan cara yang sama, ketika imam itu sendiri yang mewartakan Injil, dia berdoa dengan mengucapkan doa ini di dalam hati:
“Bersihkanlah hatiku dan bibirku, Allah Yang Mahakuasa
Sehingga saya dapat dengan pantas mewartakan Injil Suci-Mu.”
Sehingga saya dapat dengan pantas mewartakan Injil Suci-Mu.”
Umat awam dan semua orang yang mengikuti
Misa, diundang untuk melakukan doa dan gerakan yang sama sebelum Injil
dibacakan. Mereka semua didorong untuk mengatakannya dalam hati sebuah
doa singkat yang membuat mereka siap menerima Firman Allah.
“Semoga Firman Allah berada dalam pikiranku, bibirku, dan dalam hatiku.”
Suatu tindakan yang indah, yang pertama
tindakan ini memiliki akar biblis yang dalam. Contohnya, Allah
menjelaskan kepada umat Israel untuk mengucapkan kata-kata tertentu
(“Dengarlah, Hai Israel …”) setiap hari, namun juga membubuhkan
kata-kata itu “sebagai lambang di dahimu” (Ulangan 6:8). Banyak orang
Yahudi mengikutinya secara harafiah dan menempatkan sebuah gulungan
kecil di dahi mereka. Ini menjadi pengingat yang tampak untuk menjaga
Sabda Allah selalu ada pikiran mereka.
Yang kedua, doa adalah yang mengingatkan
bagaimana Nabi Yesaya menerima penglihatan di mana malaikat memurnikan
bibirnya dengan bara (lihat Yesaya 6). Hubungan ini dipelihara dalam
Misa Forma Ekstraordinaria (Misa Bentuk Tidak Biasa / Misa Tridentina –red.), di mana imam mengucapkan doa ini sebelum pembacaan Injil:
“Sucikanlah hati dan
bibirku, Allah yang Mahakuasa, yang telah mensucikan bibir nabi Yesaya
dengan bara api: berkenanlah karena belas kasihanMu menyucikan daku
sedemikian, hingga aku dapat mewartakan InjilMu yang suci dengan
pantas.” (Dikutip dari Kami Cinta Ritus Tridentina)
Yang terakhir, doa mengingatkan Firman
dari Surat kepada orang Ibrani, di mana sang penulis menulis, “Sebab
firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua
manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh,
sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran
hati kita.” (Ibrani 4:12).
Oleh karena itu, ketika kita melakukan
gerakan itu ketika Misa, menjadikannya benar-benar sebuah doa yang
mendalam, membuka diri kita kepada Firman Yesus Kristus. Setiap kali
kita mendengarkan Injil, Yesus mengetuk pintu hati kita, menunggu untuk
masuk. Kita hanya perlu membuka pintunya.
5 Alasan untuk Tetap Mengikuti Misa sampai dengan Selesai
Oleh Suster Theresa Aletheia Noble, FSP.Sebagian besar dari kita mungkin pernah satu atau dua kali melakukannya.
Kita langsung menuju pintu sambil menundukan kepala setelah menerima komuni, karena kita mempunyai suatu hal penting untuk dilakukan.
Kita berharap bahwa pastor dan teman-teman kita tidak memperhatikannya. Dan kemungkinan memang demikian. Namun, Seseorang memperhatikannya.
Sebagai seorang suster dari tarekat
religius yang cukup sering berpindah-pindah di berbagai tempat, saya
terkejut oleh perbedaan yang sangat drastis di beberapa paroki di
berbagai wilayah di negara ini, dibandingkan dengan paroki-paroki
lainnya. Saya berasal dari Oklahoma dan saya jarang melihat orang-orang
yang meninggalkan Misa lebih dahulu. Saya pernah tinggal di California,
dan di paroki tempat saya menghadiri Misa, orang-orang datang terlambat
dan kadang-kadang meninggalkan Misa lebih awal. Saya sekarang berada di
wilayah timur laut dan saya terkejut karena banyaknya orang-orang yang
meninggalkan Misa lebih awal. Namun pola ini tergantung kepada
parokinya. Hal ini menjadi fenomana yang menarik. Suatu insiden yang
terisolasi yang tidak berkaitan dengan saya. Namun ketika setengah dari
umat paroki yang “hilang” menuju tempat parkir sebelum lagu penutup
selesai, hal ini membuat hati saya sedikit merasa sedih.
Kadang-kadang, saya ingin berlari kepada orang-orang yang berjalan dengan cepat keluar gereja langsung dari antrian komuni dan saya ingin menyalami mereka dan berkata, “Anda memiliki Yesus dalam diri Anda! Luangkan sedikit waktu untuk berbicara kepada Dia, bersyukur kepada Dia, dan mencintai Dia!”
Apakah perlu beberapa motivasi untuk tinggal sedikit lebih lama untuk menghadiri seluruh bagian Misa? Apakah Anda tahu orang-orang lain yang memiliki motivasi itu?
Kadang-kadang, saya ingin berlari kepada orang-orang yang berjalan dengan cepat keluar gereja langsung dari antrian komuni dan saya ingin menyalami mereka dan berkata, “Anda memiliki Yesus dalam diri Anda! Luangkan sedikit waktu untuk berbicara kepada Dia, bersyukur kepada Dia, dan mencintai Dia!”
Apakah perlu beberapa motivasi untuk tinggal sedikit lebih lama untuk menghadiri seluruh bagian Misa? Apakah Anda tahu orang-orang lain yang memiliki motivasi itu?
Inilah beberapa alasan mengapa saya tetap
berada di sana sampai dengan Misa selesai, (selain fakta bahwa saya
adalah seorang suster, dan akan menjadi skandal bila saya keluar setelah
komuni di setiap Minggunya):
- Komuni itu tentang berkomunikasi: Ketika kita menerima komuni, kita menerima Yesus sendiri. Ketika kita makan dan pergi seperti mengunjungi seorang teman dan ketika dia mulai duduk dan hadir bagi kita, kita berdiri dan lari menuju pintu dan berteriak, “Senang sekali menghabiskan waktu dengan Anda, sampai jumpa minggu depan!” Komuni itu tentang berkomunikasi dengan Tuhan dan Penyelamat kita. Dalam rangka berkomunikasi secara spiritual, kita harus benar-benar menikmati waktu yang spesial ini bersama dengan Dia dan mengambil sedikit waktu bersama dengan Tuhan kita.
- Tidak baik untuk menjadi seseorang yang tidak sopan: Sebelum Misa di biara, kita mempunyai waktu setengah jam untuk hening dan merenungkan Injil. Kadang-kadang saya terlambat. Saya berjalan dengan cepat dengan kepala tertunduk, merasa malu kepada setiap orang yang melihat saya menyelinap masuk. Baru-baru ini saya menyadari bahwa motivasi saya untuk datang tepat waktu harusnya bukan untuk menghindari rasa malu, tetapi karena saya akan bertemu dengan Yesus. Mengapa kita lebih sering untuk memperhatikan reaksi orang lain daripada kita sendiri bersama Yesus? Kita mengira demikian, saya harus berlari karena banyak yang harus dilakukan, hal-hal yang begini dan yang begitu sedang menunggu saya! Tetapi kenapa begitu mudahnya bagi kita untuk pergi lebih awal dan datang terlambat ketika Sang Pencipta Alam Semesta sedang berharap bertemu dengan kita?
- Misa bukanlah aktivitas dalam daftar yang harus dilakukan (to-do list): Seringkali ketika saya melihat orang-orang keluar dari Misa, sepertinya mereka membubuhkan tanda dalam daftar aktivitas yang harus mereka lakukan dan mereka ingin menyelesaikan daftar-daftar itu. Kehidupan Kristiani bukan daftar yang harus dilakukan. Tapi sebuah undangan untuk berada dalam suatu hubungan dengan Allah. Jika kita pergi Misa karena rasa tanggung jawab, tentu saja kita mungin menghindari dosa berat, namun hampir tidak, alasan untuk menghindari dosa berat tidak memanggil kita ke dalam kehidupan rohani. Kita dipanggil untuk lebih dari itu. Kita dipanggil untuk memiliki hubungan, kekudusan, dan perubahan hidup.
- Pentingnya berkat penutup: Suatu hari di Hari Raya Perdamaian (Yom Kippur ed.), Zahkaria, ayah dari Yohanes Pembaptis, mendapatkan kehormatan untuk masuk ke tempat Mahakudus, dan pada hari itu malaikat berkata kepada dia bahwa dia dan istrinya akan memiliki seorang anak. Orang-orang banyak menunggu dengan sabar di luar untuk menunggu dia memberikan berkat setelah dia mempersembahkan ukupan. Ketika Zahkaria menjadi bisu karena dia tidak percaya pesan malaikat itu, tanpa adanya berkat yang diberikan semakin memperkuat rasa malunya dan tragedi kehilangan suaranya. Saya yakin orang-orang yang menunggunya itu pulang dengan sangat kecewa. Berkat itu berharga. Ketika seorang imam dengan tahbisannya ditunjuk Kristus, dia memberikan berkat penutup, dan kita diberkati oleh Allah sendiri. Jika Yesus berdiri dan bersiap-siap untuk memberikan berkat bagi kita sebelum kita meninggalkan Misa dan kembali ke dunia-Nya, apakah kita akan menunggu untuk berkat itu?
- Anda menerima rahmat yang lebih: Berdasarkan Katekismus, “Buah-buah Sakramen juga bergantung pada sikap hati orang yang menerimanya” (KGK 1128). Ada kekuatan dalam sakramen-sakramen dalam dan dari sakramen itu sendiri, namun seberapa banyak kekuatan itu menyerap ke dalam jiwa kita dan berperan dalam kehidupan kita, tergantung pada disposisi kita. Jika kita bergegas keluar dari gereja setelah komuni, kemungkinan disposisi kita tidak seperti bahwa diri kita itu secara sadar menghormati kenyataan yang luar biasa bahwa kita memakan Tubuh, Darah, Jiwa dan Keilahian dari Allah sendiri. Suatu hal yang berat. Dan suatu hal yang layak bagi kita untuk memiliki disposisi akan rasa hormat yang besar, jika hanya karena kita semua membutuhkan semua rahmat yang kita bisa dapatkan.
Diterjemahkan dari: aleteia.org
Membungkuk saat Syahadat, untuk apa?
Membungkuk saat Syahadat, untuk apa?
Dalam buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) ditulis demikian: “Membungkuk: dilakukan ketika mengucapkan ” Ia dikandung dari Roh Kudus , dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia” (Syahadat Nikea-Konstantinopel) atau ” yang di kandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” (Syahadat Para Rasul) sebagai tanda ungkapan iman.”Kalimat ini, mengungkapkan iman kita akan dua peristiwa yang terjadi lewat campur tangan ilahi, yang keduanya dirayakan dalam dua Hari Raya Gerejawi, yakni: Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret) yang merayakan peristiwa dikandungnya Santa Maria oleh Roh Kudus yang disampaikan oleh malaikat Gabriel, dan Hari Raya Natal (25 Desember) yang merayakan kelahiran Yesus Kristus, Sang Mesias terjanji. Maka pada kedua hari raya ini, umat tidak hanya membungkuk pada kalimat di atas, tapi berlutut.
Dalam Syahadat Nikea-Konstantinopel / Syahadat Panjang, lebih tegas dalam ungkapan keagungan misteri ini: et incarnatus est de Spiritu Sancto (Ia dikandung dari Roh Kudus), ex Maria Virgine (dilahirkan oleh Perawan Maria), et homo factus est (dan menjadi manusia).
Rangkaian peristiwa kabar sukacita sampai kelahiran, bermuara pada sebuah fakta iman, bahwa Putra Allah yang tunggal, yang sehakikat dengan Bapa, telah menjadi manusia. Peristiwa inilah yang disebut dengan peristiwa inkarnasi. Santo Paulus mengungkapkannya dengan indah dalam suratnya kepada Gereja di Filipi: “… telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp. 2:7-8).
Gerakan membungkuk saat kalimat syahadat, merupakan tanda ungkapan iman yang mendalam akan Allah yang menjadi sama dengan manusia, yang merendahkan diri-Nya bahkan sampai wafat di kayu salib. Allah yang merendahkan diri-Nya ini kita hayati dan ungkapkan dalam bentuk gerakan yang merendahkan diri kita pula di hadapan-Nya, yakni membungkuk khidmat. Pada Hari Raya Kabar Sukacita dan Hari Raya Natal dimana dua peristiwa ini dirayakan, kita tidak hanya membungkuk namun lebih merendahkan diri lagi, yakni berlutut.
Maka marilah kita galakkan lagi tata gerak ini, bukan supaya memenuhi aspek legalitasnya belaka, namun lebih dalam dari itu, demi memperdalam iman kita akan Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, lewat rahim Santa Perawan Maria.
~ Dominus illuminatio mea et salus mea ~
Sumber: Page “Gereja Katolik” Facebook
Sejarah Dupa dan Mengapa Digunakan Saat Misa
Sejarah Dupa dan Mengapa Digunakan Saat Misa
Posted by Terang Iman - https://terangiman.com/2018/10/19/sejarah-dupa-dan-mengapa-digunakan-saat-misa
.
Oleh Larry Peterson
.
Penggunaan
Dupa dalam Misa (Pascal Deloche) (Sumber: aleteia.org)
Elemen wawangian
dari warisan Katolik kita ini sudah ada berabad-abad sebelum kelahiran Kristus.
Bagi saya ada “sesuatu” dari wawangian yang berasal dari dupa yang baru dibakar
itu yang mengisi ruangan gereja dan mengangkat semangat rohani kita. Nah dari
mana dupa itu berasal dan mengapa kita menggunakannya?
Penggunaan dupa
dalam peribadatan keagamaan dimulai lebih dari 2.000 tahun sebelum Kekristenan
lahir. Penggunaan dupa di Tiongkok dicatat sebelum tahun 2.000 Sebelum Masehi.
Perdagangan dupa dan rempah-rempah adalah faktor ekonomi utama antara Barat dan
Timur, ketika karavan (kendaraan berbentuk gerobak yang ditarik oleh binatang –red.)
berkelana di Rute Dupa Timur Tengah dari Yaman melalui Arab Saudi. Rute ini
berakhir di Israel dan di sinilah dupa diperkenalkan kepada Kerajaan Romawi.
Agama-agama di
dunia barat sudah lama menggunakan dupa dalam upacara-upacara mereka. Dupa
tercatat dalam Talmud dan disebutkan dalam Alkitab sebanyak 170 kali
(seringkali dengan istilah ukupan –red.). Contohnya dalam Keluaran
30:1 yang berbunyi:
“Haruslah
kaubuat mezbah, tempat pembakaran ukupan; haruslah kaubuat itu dari kayu penaga
… “
Penggunaan dupa
dalam ibadat umat Yahudi berlangsung lama bahkan setelah awal mula Kekristenan
dan yang menjadi pengaruh yang pasti dalam penggunaan dupa dalam perayaan
liturgis Gereja Katolik. Gereja melihat bahwa pembakaran dupa sebagai gambaran
doa-doa umat beriman yang naik ke Surga. Simbolisme ini disebutkan dalam Mazmur
141:2 yang berbunyi:
“Biarlah doaku
adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti
persembahan korban pada waktu petang.”
Tidak ada
rentang waktu yang pasti yang tercatat untuk mengetahui kapan dupa
diperkenalkan dalam ibadat keagamaan Gereja. Tidak juga ada bukti untuk
membuktikan bahwa penggunaan dupa selama empat abad pertama Gereja. Namun ada
referensi bahwa dupa digunakan dalam Perjanjian Baru. Lukas, di awal Injilnya,
berbicara tentang kelahiran Yohanes Pembaptis, dia menuliskan demikian:
Sementara itu
seluruh umat berkumpul di luar dan sembahyang. Waktu itu adalah waktu
pembakaran ukupan. Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri
di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan. Melihat hal itu ia terkejut dan
menjadi takut. (Luk 1:10-12)
Dupa bersifat
sakramental, digunakan untuk menguduskan, memberkati, dan memuliakan. Asap dupa
adalah simbol dari misteri Allah sendiri. Ketika asap dupa naik, gambaran dan
wewangian menunjukkan manisnya kehadiran Tuhan kita dan memperkuat makna Misa
yang menghubungkan Surga dan Bumi, yang berakhir di hadirat Allah.
Asap juga
melambangkan iman yang kuat yang seharusnya memenuhi kita semua dan wawangian
mewakili kebajikan Kristen.
Dalam PUMR
(Pedoman Umum Misale Romawi) memperbolehkan penggunaan dupa pada beberapa waktu
dalam Misa. Ketika sesuatu didupai, wiruk (pedupaan) diayunkan tiga kali, yang
mewakili Tiga Pribadi dalam Tritunggal Mahakudus.
Ada beberapa
waktu penggunaan dupa dalam Misa
- Ketika prosesi masuk.
- Permulaan Misa untuk mendupai altar dan salib.
- Permulaan bacaan Injil.
- Setelah roti dan piala ditempatkan di altar untuk mendupai persembahan, salib, altar, imam, dan akhirnya umat.
- Setelah Tubuh Kristus dikonsekrasi dan Tubuh Kristus diangkat dan setelah Darah Kristus dikonsekrasi dan Darah Kristus diangkat. (tambahan dari TerangIman.com)
Selain itu, dupa
digunakan pada upacara pemakaman baik dalam gereja, di peti mati dan di tempat
pemakaman. Dupa juga digunakan pada Kamis Putih saat Sakramen Mahakudus
ditahtakan dalam masa hening. Dan pada Malam Paskah, lima butir dupa ditusukkan
dalam Lilin Paskah.
Akhirnya mari
kita lihat Kitab Wahyu 8:3-4:
Maka datanglah
seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan
emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya
bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta
itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu
dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.
Betul sekali,
penggunaan dupa itu sangat berakar dalam warisan Katolik kita.
Sumber: “The history of incense and why it’s used at
Mass”Museum Maria Bunda Segala Suku Jakarta
Museum Maria Bunda Segala Suku Resmi Ada di Jakarta
Matakatolik
Matakatolik.Com-Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius
Suharyo meresmikan Museum Maria Bunda Segala Suku. Museum ini terletak di dalam
Gedung Marian Center Indonesia (MCI) di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Peresmian
ini berlangsung pada Sabtu,20/10/2018, sore.
Kehadiran
museum ini diharapakan dapat meningkatkan semangat umat devosi kepada Maria
khususnya devosi kepada Bunda Segala
Suku semakin berkembang di Indonesia.
Peresmian
museum ini dilakukan dalam sebuah perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr.
Suharyo sebagai selebran utama dan lima imam termasuk Pastor Stefanus Buyung
Florianus OCarm selaku moderator MCI. Hadirir lebih dari 100 umat Katolik dari
beberapa paroki di wilayah Keuskupan Agung Jakarta dalam acara ini.
“Akhirnya
sesudah perjalanan panjang, lahirlah Museum Maria Bunda Segala Suku. Kita semua
berharap semoga di ruangan kecil ini semangat Bunda Maria dapat semakin merasuk
ke dalam batin siapa pun yang ikut di dalam devosi kepada Maria Bunda Segala
Suku ini,” kata Mgr Suharyo dalam homilinya.
Ia
menambahkan devosi kepada Maria Bunda Segala Suku merupakan ungkapan kreatif
dari umat Katolik untuk meneladani Bunda Maria.
Mgr Suharyo
juga menekankan niat umat Katolik untuk meneladani Yesus dan mengikuti Yesus
sebagai murid-Nya yang semakin sempurna.
“Menjadi
serupa dengan Yesus itu bagaimana? Bahasa, ajaran resmi Gereja seperti apa?
Kita bertumbuh di dalam kepenuhan hidup Kristiani, di dalam kasih yang semakin
sempurna, di dalam kesucian yang semakin sempurna,” lanjutnya.
Mgr Suharyo
menyinggung seruan apostolik “Bersukacita dan Bergembiralah” (gaudete et
exsultate) yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 19 Maret lalu untuk
menjelaskan tentang kesucian.
“Berikut
contohnya: seorang ibu pergi berbelanja dan dia berjumpa dengan seorang
tetangga. Mulailah mereka berbicara, Sampai pada suatu titik, kedua ibu itu
mulai bergosip. Gosip itu omong jelek tentang orang lain. Namun ibu itu berkata
dalam hati ‘tidak, saya tidak akan berbicara jelek mengenai orang lain.’ Ini
komentar Paus adalah satu langkah maju dalam kesucian,” katanya.
“Kesucian
itu sesederhana itu. Tanda-tanda kecil adalah pengalaman hidup kita
sehari-hari. Seperti halnya Bunda Maria menjalani hidupnya dalam kehidupan
sehari-hari dan bertumbuh di dalam kesucian,” lanjutnya.
Mgr Suharyo
berharap keberadaan museum itu membantu umat Katolik di KAJ khususnya dan di
Indonesia umumnya untuk mengembangkan devosi kepada Maria Bunda Segala
Suku. Museum tersebut berisi beberapa lukisan dan patung Bunda Maria dari
berbagai suku seperti Jawa dan Dayak.
Dalam
sambutannya, Pastor Buyung mengajak umat Katolik untuk terus mengupayakan
persatuan.
“Tugas kita,
tanggung jawab kita adalah meneladani Bunda Maria untuk mempersatukan dan
mendamaikan. Oleh karena itu, (keberadaan) Museum Maria Bunda Segala Suku untuk
mempersatukan dan mendamaikan, bukan menceraiberaikan,” katanya.
Langganan:
Postingan (Atom)