Minggu, 28 Oktober 2018

Rabu, 24 Oktober 2018

Gereja Rusak Akibat Gempa Palu, Umat Katolik Misa Minggu di Gazebo

Gereja Rusak Akibat Gempa Palu, Umat Katolik Misa Minggu di Gazebo  

Oktober 9, 2018
Ratusan umat Katolik di Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah, menghadiri Misa Minggu di gazebo yang terletak di halaman gedung gereja paroki terbesar di sana setelah gedung gereja itu mengalami kerusakan akibat gempa bermagnitudo 7,4 yang memicu gelombang tsunami setinggi hingga tiga meter.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), gempa yang mengguncang Kota Palu serta Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong pada 28 September lalu itu sejauh ini menewaskan 1.948 orang dan merusak hampir 70.000 bangunan.
Selain itu, sekitar 2.600 orang mengalami luka parah dan lebih dari 62.300 orang mengungsi. Sebanyak 5.000 orang diperkirakan hilang.

“Gempa memang mengguncang (banyak bangunan) termasuk gedung gereja. Tetapi lebih dari itu, (gempa) mengguncang Gereja dalam arti umat Allah. Sehingga keduanya saling mendukung dan menjadi satu yaitu trauma,” kata Pastor Johanis Salaki MSC, pastor Paroki St. Maria Bunda Hati Kudus di Palu, kepada ucanews.com via telepon pada Senin (8/10).

“Jadi mereka menyaksikan gedung gereja mereka diguncang dan ada kerusakan. Jiwa mereka juga terbawa oleh peristiwa ini. Sehingga mereka – dengan menyaksikan sebagian besar bangunan yang rusak – berusaha menghindar dan tidak mau masuk ke dalam bangunan yang rusak,” lanjutnya.
Menurut imam itu, gempa susulan masih terus terjadi. Dan setiap ada getaran, umat Katolik berlari menuju halaman terbuka.

BNPB mencatat 546 gempa susulan sejak gempa mematikan mengguncang wilayah itu. Bahkan pada Selasa (9/10), wilayah itu kembali diguncang oleh gempa bermagnitudo 5,2.
“Trauma ini menjadi  sangat kompleks. Bukan hanya ketakutan, tetapi dengan memandang bangunan yang rusak mereka ingin menjauh dari pandangan itu. Sehingga jangan heran, sebagian besar umat saya di sini memilih untuk keluar dari zona penglihatan bangunan yang rusak itu,” kata Pastor Salaki.
Oleh karena itu, setelah berkonsultasi dengan Uskup Manado Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC, Pastor Salaki memutuskan untuk mengadakan Misa Minggu di gazebo yang terletak di halaman gereja paroki.
“Demi keamanan bersama, maka Misa Minggu dialihkan dari dalam gedung gereja menjadi di luar gedung gereja sehingga umat menjadi lebih tenang dalam beribadah,” lanjutnya, seraya mengatakan bahwa Misa Minggu di gazebo sudah diadakan sejak dua minggu lalu.

Selain Misa Minggu, Misa harian juga diadakan di gazebo pada pagi hari. “Pada sore hari jam 18.00 WITA ada doa Rosario untuk pengungsi. Doa ini diadakan selama bulan ini. Sembari mereka diobati secara jasmani, kebutuhan rohani juga dipenuhi. Jadi ada keseimbangan,” katanya.
Pastor Salaki menambahkan bahwa setiap Misa Minggu di gazebo dihadiri oleh sekitar 150 umat Katolik. “Gazebo ini beratapkan multi-roof, berkerangka besi baja, berpilar besi kuat. Lantainya tetap keramik. Gazebo ini tidak terdampak oleh gempa.”

Sementara itu, katanya, gedung gereja paroki mengalami kerusakan. Ada sekitar empat tiang yang miring dan ada keretakan di beberapa bagian tertentu. Selain itu, ornamen marmer yang terletak di bagian atap di atas panti imam juga roboh.

 “Saya bisa mengatakan dan ini sesuai data, gereja St. Maria Bunda Hati Kudus Yesus di Palu adalah gereja terbesar di Keuskupan Manado. Gereja ini memiliki tiang-tiang yang besar,” katanya.
Keuskupan Manado memiliki 62 paroki di delapan kevikepan. Di Kota Palu saja terdapat dua paroki: Paroki St. Maria Bunda Hati Kudus dan Paroki St. Paulus.
Pastor Salaki mengatakan ia akan meminta bantuan pemerintah setempat untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi gedung gereja sebelum melakukan renovasi.
Hal serupa dialami oleh umat Protestan di Kota Palu.
Menurut Pendeta Samuel Seri dari Gereja Pentakosta Indonesia di Kota Palu, kebaktian Minggu diadakan di bawah tenda yang didirikan di halam gereja yang mengalami kerusakan akibat gempa.
“Plafon gereja ambruk dan dinding retak-retak,” katanya kepada ucanews.com via telepon.
Trauma pun  masih menghantui jemaat gereja tersebut. “Hanya 30-an jemaat yang hadir. Sebagian besar telah mengungsi ke daerah lain seperti Manado dan Makassar,” lanjutnya.

Mgr Tri: Gereja Katolik Harus Terbuka

Mgr Tri: Gereja Katolik Harus Terbuka

https://indonesia.ucanews.com/2018/10/17/mgr-tri-gereja-katolik-harus-terbuka/

Oktober 17, 2018

Uskup Purwokerto Mgr Christophorus Tri Harsono yang ditahbiskan pada Selasa (16/10) menekankan pentingnya nilai-nilai yang tertuang dalam dokumen Konsili Vatikan II, Nostra Aetate (Pada Zaman Kita), khususnya tentang ajaran untuk tidak mengagungkan diri dan lebih terbuka.

Upacara tahbisan itu digelar di Graha Widyatama Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Lebih dari 5.000 umat Katolik serta ratusan uskup, imam dan biarawati menghadiri acara tersebut.

Sebelum ditahbiskan sebagai uskup Purwokerto, Mgr Tri – yang kini berusia 52 tahun – berkarya sebagai vikaris jenderal Keuskupan Bogor di Propinsi Jawa Barat.

Mgr Tri menggantikan Mgr Julianus Kema Sunarka SJ yang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai uskup Purwokerto pada Desember 2016 setelah menginjak usia 75 tahun atau usia pensiun.
“Sebenarnya dalam Nostra Aetate diajarkan keunggulan Gereja Katolik: tidak boleh mengunggulkan diri dan harus terbuka terhadap orang lain. Makanya mau tidak mau toleransi atau yang disebut juga menghargai orang lain adalah kekhasan Gereja Katolik,” kata Mgr Tri kepada ucanews.com.
Nostra Aetate adalah sebuah deklarasi tentang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen. Dokumen ini dideklarasikan oleh Paus Paulus VI pada 28 Oktober 1965.

“Saya ingin berteman dengan siapa pun, saya ingin bersahabat dengan siapa pun. Tidak hanya mempromosikan saja, tapi saya menunjukkan. Kalau saya hanya promosi, tidak diikuti. Tapi saya datang, bergaul, ngopi-ngopi bersama,” lanjut prelatus itu.
“Ini akan lebih baik dibanding formalitas pertemuan FKUB, pertemuan dialog antaragama, dsb,” katanya.

Ditahbiskan sebagai imam diosesan pada 1995, Mgr Tri pernah mengenyam Studi Bahasa dan Budaya Arab di Kairo, Mesir, dan di Institut Kepausan untuk Studi Bahasa Arab dan Islam di Roma, Italia.

Ia juga pernah berkarya sebagai ketua Komisi Hubungan Antar-Agama dan Kepercayaan Keuskupan Bogor dan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Propinsi Jawa Barat.
“Saya harus menyatukan yang namanya kebangsaan kita: ‘100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.’ Itu yang memang harus diperjuangkan. Kalau kita sendiri tidak mengenal ke-Katolik-an kita, kita juga tidak dikuatkan oleh ke-Katolik-an kita, kita juga tidak bangga dengan ke-Katolik-an kita, bagaimana mungkin kita bisa membaur dengan bangsa atau kelompok atau agama lain?” kata Mgr Tri.

“Contohnya Pancasila, (ini) sebenarnya bisa menyatukan kebhinnekaan. Masak Roh Kudus tidak bisa. Roh Kudus lebih dari pada itu. Jadi saya memang harus benar-benar menekankan konsep tentang Allah yang benar dulu. Kalau sudah benar, umat dengan sendirinya pasti inklusif,” lanjutnya.
Menurut Mgr Tri, toleransi merupakan suatu keniscayaan. “Ini bukan sesuatu yang mustahil. Ini memang kebutuhan orang Katolik,” tegasnya.

Selain itu, uskup baru yang memilih motto tahbisan “Fiat mihi secundam verbum tuum” (Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu – bdk. Lukas 1:38), itu akan menggunakan waktu satu tahun ke depan untuk mengunjungi para imam, khususnya imam diosesan.
“Saya pertama-tama mau mengenal dulu semuanya. Tidak ada program, tidak ada prioritas apa pun. Maka saya hanya menyampaikan bahwa saya mau mengenal semua dulu: paroki, umat, yayasan. Tapi terutama imam-imamnya. Saya akan datang ke semua imam, satu per satu, saya tidak memanggil, saya akan hadir. Utamanya itu,” kata Mgr Tri.

“Baru datang saja sudah banyak permasalahan, internal. Para imamnya, terutama bukan imam tarekat, ordo atau kongregasi, tapi imam diosesannya,” lanjutnya.

Agustinus Bambang Murdoko dari Paroki St. Stefanus di Cilacap menyambut baik rencana Mgr Tri terkait kunjungan kepada para imam.

“Harapan saya uskup yang baru bisa mempertahankan jumlah imam dan memperbanyak panggilan. Umat betul-betul membutuhkan sosok imam,” katanya kepada ucanews.com.
“Jumlah imam semakin lama semakin berkurang. Jumlah panggilan diharapkan bertambah subur. Saya tidak ada data, tapi secara umum yang saya lihat jumlah imam banyak mengalami penurunan karena banyak imam keluar karena masalah krusial,” lanjutnya.

Keuskupan Purwokerto memiliki sekitar 61.000 umat Katolik di 25 paroki yang dilayani oleh 46 imam diosesan, 35 imam religius, 145 biarawati dan 24 bruder.

Uskup Purwokerto Mgr Christophorus Tri Harsono. (Foto: Panitia tahbisan)

Selasa, 23 Oktober 2018

Rumah Tangga atau Rumah Duka?


3 Alasan Seorang Katolik Berlutut Ketika Masuk Gereja


Oleh Romo Mike Schmitz


BERLUTUT - (Sumber:findinggodwithin.org) Pernahkan Anda memerhatikan beberapa orang ketika masuk gereja, berjalan masuk ke dalam sebuah gereja Katolik, dan sebelum mereka menuju tempat duduk, mereka melakukan gerakan berlutut? Atau semacam gerakan setengah berlutut yang tergesa-gesa kemudian masuk ke tempat duduk. Beberapa orang, mereka berhenti dan merendahkan diri sampai berlutut. Ya, itulah yang kami harapkan. Gerakan setengah berlutut itu mungkin suatu usaha untuk berlutut.
Ketika Anda masuk ke dalam gereja, tepat sebelum masuk ke tempat duduk, Anda biasanya berlutut dengan satu kaki. Apa artinya? Suatu pertanyaan bagus.
Berlutut (genuflection) berasal dari dua suku kata bahasa Latin yang digabungkan yaitu genu- dan -flection atau semacam itu (tepatnya genu dan flectere). Genu artinya “lutut” dan flectere artinya “menekuk” jadi sederhananya “menekuk lutut.”
Jadi ketika Anda masuk ke gereja sebelum menuju tempat duduk, kami berlutut – menekuk lutut, terhadap tabernakel, terhadap Yesus sendiri dalam tabernakel. Nah, jika Anda memasuki gereja yang tidak memiliki tabernakel tetapi memiliki altar tepat di depannya, pada kasus ini Anda bisa MEMBUNGKUK, karena kita membungkuk kepada altar yang merupakan simbol dari Yesus.
Ekaristi bukanlah sebuah simbol akan Yesus. Ekaristi ADALAH Yesus, jadi kita sepenuhnya berlutut bagi-Nya. Mengapa beberapa orang sepertinya melakukan gerakan setengah berlutut dan beberapa orang lagi sangat mengetahui apa yang mereka lakukan? Saya kira mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Jadi apa maksud di balik berlutut itu?
Saya berkata tentang sesuatu yang tubuh saya lakukan terhadap Allah dalam tabernakel, berkata tentang sesuatu dengan tubuh kita terhadap Yesus dalam Ekaristi. Apa yang saya katakan? Saya berkata sedikitnya satu hal dari tiga hal, mungkin ketiga hal itu pada saat yang bersamaan.
Pertama, berlutut dengan menekukan lutut kita, adalah tindakan kerendahan hati. Kasarnya demikian, “OK, Yesus dalam Ekaristi adalah Allah. Saya bukanlah allah.” Dan pada saat itu kita berkesempatan untuk merendahkan diri sampai berlutut seperti seorang hamba di hadapan rajanya, seperti seserang di hadapan Tuhannya, dan berkata, “Engkaulah Allah, Engkaulah Tuhan.” Jadi, ketika berlutut di depan tabernakel, apa yang kita katakan adalah, “Engkaulah Allah, bukan saya.” Itulah sikap kerendahan hati, sekaligus sikap dari tindakan kita. Itulah sikap dari komitmen diri kita sendiri terhadap pelayanan kepada Tuhan, dan yang saya maksudkan adalah kembali ke masa lalu, ketika para ksatria berjanji untuk melayani rajanya, apa yang mereka lakukan adalah mereka berlutut, secara hakikatnya mereka bertekuk lutut di hadapan raja sambil berkata, “Saya menjanjikan pedangku kepadamu.” Dan inilah yang saya pikir sebagai hal yang luar biasa dalam film “The Lord of the Rings,” ingat ketika mereka berada di Rivendell, dan mereka menemukan cincinnya, dan kita harus menghancurkannya di Mordor dan siapa yang akan melakukannya? Kemudian Frodo berkata, “Baik, saya akan melakukannya walaupun saya tidak tahu caranya. Saya tidak tahu bagaimana caranya ke sana.” Jika dia pergi sendiri, dia akan mati. Aragorn berlutut di hadapan Frodo dan berkata, “Jika dengan hidup dan matiku saya dapat membantumu menyelesaikan tugas ini, maka Anda memiliki pedang saya.” Dia berlutut. Jadi yang pertama adalah kerendahan hati, tepat di hadapan Yesus dalam Ekaristi.
Alasan kedua adalah “Saya siap melayani-Mu.” Apa yang Anda katakan ketika Anda berlutut ketika memasuki gereja dan ketika keluar dari gereja adalah, “Tuhan Yesus jika dengan hidup dan matiku, saya bisa membantu Engkau untuk menuntaskan tugas yaitu misi-Nya untuk menebus dunia, membawa terang ke kegelapan, membawa harapan kepada mereka yang putus asa, membawa pemulihan kepada yang hancur, maka Engkau mempunyai hidupku.” Jadi, yang pertama adalah gerakan ungkapan kerendahan hati. Yang kedua adalah gerakan untuk melayani,
Yang ketiga adalah gerakan kasih, pikirkanlah hal ini: dalam kebudayaan kita kapankan seorang pria muda akan berlutut di hadapan seorang wanita yang ia cintai? Yaitu ketika dia melamarnya, ketika dia berkata, “Bersediakah kamu menerima saya sebagai suamimu untuk seumur hidupmu?” atau “Bersediakah kamu memberi kehormatan bagi saya untuk menghormati dan mencintaimu untuk seumur hidupku?” Ketika Anda memasuki gereja dan meninggalkan gereja, ketika berlutut di hadapan Yesus dalam Ekaristi. Yang anda katakan, bukan hanya tindakan kerendahan hati dan tindakan melayani. Tapi juga tindakan kasih. Yesus, saya mengasihimu. Bolehkah saya mengasihimu dengan segenap hidupku? Ketika Anda berlutut, yang kita katakan, “Engkaulah Allah, bukan saya.” Apa yang kita katakan, “Yesus, jika dengan hidup atau matiku, saya bisa membantu Engkau menuntaskan misi-Mu menebus dunia, maka pergunakanlah saya.” Dan nomor tiga, Yesus saya mengasihimu. Biarkan saya mengasihimu segenap hidupku.
Jadi ketika kita mengetahui apa di balik gerakan-gerakan selama Misa, maka akan mengubah segalanya. Melakukan gerakan yang sama, namun bukan lagi melakukannya dengan gerakan saja, tapi melakukan gerakan yang bermakna.
Sumber: “3 Reasons Catholics Genuflect” dengan sedikit penyesuaian

Duduk, Berdiri, dan Berlutut – Arti Simbolis Seluruh Tata Gerak Misa


Oleh Lorelei Savaryn

Adoremus in æternum oleh Lawrence OP (Sumber: flickr.com)

Berlutut. Berdiri. Duduk. Berdiri. Duduk. Berlutut. Berdiri. Duduk. Berdiri. Wah!

Ketika orang-orang non-Katolik menghadiri Misa Katolik, mereka berpikir keras tentang sikap-sikap tubuh yang dilakukan umat Katolik. Kata-kata seperti, “Oh, berdiri lagi.” Dan “Kenapa kita berlutut?” dan “Apakah salah jika kita berlutut tetapi (maaf –red.) bokong kita masih menempel di kursi, terutama jika saya tidak yakin kenapa saya berlutut karena duduk di baris pertama?”
Saya tahu sekali bahwa orang-orang non-Katolik akan memikirkan hal-hal tersebut, karena saya dulu bukan seorang Katolik, dan itulah yang ada di benak saya. Saya tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, ataupun mengapa mereka melakukannya. Saya hanya berusaha mengikutinya!
Sekarang, sebagai seorang Katolik, salah satu hal yang saya tumbuhkan untuk menghormati Misa adalah bagaimana setiap hal itu memiliki makna. Setiap tata gerak, sikap, kata-kata yang diucapkan, dan apa yang dilakukan itu memiliki makna. Semakin memahami tentang apa yang dilakukan selama Misa, maka Anda akan semakin bisa menghormati keindahannya.
Itulah sebabnya artikel ini berfokus tentang “mengapa” harus duduk, berdiri, dan berlutut dalam Misa Katolik.
Duduk
Duduk adalah sikap mendengarkan. Umat Katolik duduk ketika bacaan pertama (seringkali dari Perjanjian Lama), Mazmur (seringkali dinyanyikan), dan bacaan kedua (Perjanjian Baru tetapi bukan dari Injil). Kita juga duduk ketika persembahan dan homili (khotbah).
Kita duduk, siap untuk mendengarkan dan menerima (Sabda Tuhan –red.). Kita duduk untuk menyimak.
Berdiri
Ketika berdoa: Berdiri adalah sikap doa bagi orang Yahudi sejak sebelum zaman Yesus. Berdiri selama berdoa juga dapat dilihat di berbagai perikop dalam Alkitab. Jadi, sebagai seorang Katolik, kita meneruskan untuk menggunakan sikap itu untuk berdoa sampai hari ini.
Beberapa contoh sikap berdiri ketika Misa untuk berdoa diantaranya: Ketika doa pembukaan (dipimpin oleh imam), berdoa Bapa Kami (sebagai satu jemaat), dan Doa Umat (doa permohonan untuk jemaat).
Ketika Syahadat: Kita berdiri ketika mengucapkannya bersama-sama tentang apa yang dipercayai oleh umat Kristen sejak awal mula, dalam bentuk Syahadat Nicea atau Shayadat Para Rasul. Kita berdiri untuk menegaskan kesatuan kita dan kepercayaan kita bersama-sama sebagai umat Kristen.
Ketika Bacaan Injil: Berdiri juga menandakan sebagai tanda hormat. Kita mempunyai beberapa bacaan dari Alkitab selama Misa, namun kita berdiri ketika Bacaan Injil sebagai penghormatan khusus, karena di sanalah sabda dan perbuatan Yesus sendiri berada.
Ketika Prosesi (Perarakan): Kita berdiri di awal dan akhir Misa, juga bermaksud sebagai tanda hormat kepada selebran (Imam atau Uskup yang merayakan Misa) yang berarak masuk di awal Misa dan berarak keluar ketika Misa selesai.
Berlutut
Ketika kita masuk (ke dalam gereja –red.) untuk merayakan Misa, kita berlutut dengan menekuk lutut di mana salah satu kaki kita menyentuh lantai. Kita dengan rendah hati mengakui kehadiran Yesus dalam tabernakel, dalam Ekaristi.
Umat Katolik percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam tubuh, darah, roh dan keilahian-Nya dalam Ekaristi, yaitu dalam Komuni Kudus. Kita percaya ketika Yesus berkata, “Inilah tubuh-Ku,” maka Dia memaknainya secara harafiah. Yesus yang terselubung di balik kehadiran-Nya dalam rupa roti dan anggur, namun kehadiran-Nya benar-benar nyata dan sepenuhnya ada di sana. Hal ini adalah yang dipercaya oleh umat Kristen perdana, dan diteruskan untuk dipercayai sampai dengan hari ini dalam agama Katolik. Jadi, kita mengakuinya dengan melakukan sikap berlutut. Baca juga artikel “3 Alasan Seorang Katolik Berlutut Ketika Masuk Gereja” oleh Romo Mike Schmitz untuk mengetahui lebih lanjut alasannya.
Berlutut adalah sikap menghormati dan menyembah. Saat-saat lain ketika kita berlutut adalah selama persiapan untuk dan sebelum dan sesudah penerimaan Ekaristi (Tubuh dan Darah Kristus dalam Komuni Kudus). Kita berlutut lagi karena kita percaya bahwa Yesus secara penuh dan benar-benar hadir dalam Komuni. Jika Anda percaya akan kehadiran nyata Kristus sendiri, maka berlutut akan menjadi hal yang wajar untuk dilakukan – mungkin kalau mungkin sujud menyembah sampai yang paling rendah.
Jadi, kita selalu berlutut ketika Misa pada bagian ini, dan kami tetap berlutut sampai Elemen-elemen itu (Tubuh dan Darah Kristus) disimpan kembali di tabernakel, dan kemudian tabernakel itu ditutup.
Kesimpulan
Setidaknya Anda tahu bahwa kita sebagai umat Katolik tidak hanya bingung dengan apa yang dilakukan oleh tubuh kita selama Misa!
Dan artikel ini hanyalah penjelasan yang sangat dasar tentang apa yang kita lakukan dengan tubuh kita seluruhnya. Ada sejumlah gerakan lain yang dilakukan oleh jemaat dan juga yang dilakukan selebran dalam setiap Misa yang memiliki makna tambahan.
Bagaimana kita menggerakan tubuh kita mempengaruhi dan mencerminkan keadaan pikiran kita. Contohnya, menunduk bisa menjadi cerminan kesedihan seseorang, atau kurang percaya diri, atau malu, dan bisa membuat orang lain melakukan sikap yang sama. Sementara itu, sikap berdiri tegak dapat mencerminkan sikap bangga, atau percaya diri, atau berani. Dan contohnya, jika Anda tidak merasa berani namun melakukan sikap tubuh berani, maka bisa membantu untuk menjadi berani. Nah, sikap tubuh ketika Misa juga bisa mencerminkan keadaan pikiran seseorang, dan juga bisa membantu Anda untuk menempatkan diri Anda dalam pikirian yang benar.
Dan juga, baik ketika Misa maupun di luar waktu Misa, perubahan sikap tubuh hanya untuk asal bergerak saja sangat tidak membantu siapapun. Jika Anda duduk, berdiri, dan berlutut ketika Misa pada saat yang tepat, namun hati Anda tidak berada di dalamnya, atau perhatiaan Anda terganggu, ataupun tidak fokus pada mengapa diri Anda melakukan sikap tubuh itu, maka Anda tidak akan mendapatkan manfaat dari makna sikap tubuh yang dilakukan. Tapi jika Anda mengikuti Misa dan berlutut menghadap tabernakel, karena Anda dengan rendah hati mengakui kehadiran Kristus di sana, dan jika Anda duduk dengan niat untuk mendengarkan dengan segenap akal budi, tubuh, dan jiwa, dan jika Anda berdiri, dan hati Anda berfokus terhadap doa, dan jika Anda berlutut mengakui kehadiran Juruselamat Anda, maka kemudian Anda akan mendapatkan sesuatu.
Sebagaimana dalam seluruh struktur dalam Misa, dan dalam agama Katolik secara keseluruhan, ada banyak sekali cara untuk membantu menggerakkan hati, akal budi, dan jiwa Anda dalam membangun hubungan yang lebih intim dengan Yesus.
Tapi Anda tidak bisa menjalin hubungan itu hanya dengan melalui gerakan saja.
Dan bila Anda benar-benar terlibat, dan menerima serta merangkul makna di balik apa yang Anda lakukan, maka rahmat dan sukacita dan kelimpahan akan tersedia bagi Anda dalam Misa dan dalam Gereja Katolik yang sangat indah, dan satu-satunya yang membawa Anda lebih dekat kepada Juruselamat Anda.

Bagaimana Membuat Tanda Salib Sebelum Bacaan Injil

Oleh Philip Kosloski

Tanda Salib Sebelum Injil (Sumber: Andreas Solaro / AFP dan aleteia.org)

“Lebih dari sekedar gerakan rutin, tapi lebih dalam lagi ke dalam simbolisme alkitabiah.”

Bagi umat Katolik Roma, ada suatu gerakan cepat yang seringkali tidak diperhatikan sebelum pembacaan Injil dalam Misa. Sebuah penelusuran yang ringkas tentang tanda salib yang bukan gerakan khas yang biasa kita dilakukan (Tanda Salib/Signum Crucis) dan berisikan banyak simbolisme.
Gerakan itu secara langsung meniru apa yang diakon (atau imam ketika diakon tidak ada) lakukan sesuai dengan pedoman (PUMR – red.) sebelum pembacaan Firman dari Injil. Dalam Misa Romawi tertulis, “Kemudian, dengan ibu jari kanan, pertama kali membuat tanda salib pada buku pada permulaan Injil sebelum dibacakan, dan kemudian pada dirinya sendiri di dahi, mulut, dan di dada.”
Sebelum itu, jika seorang diakon akan mewartakan Injil, (jika ada imam) imam akan memberikan dia berkat dengan mengucapkan doa berikut ini:
“Semoga Tuhan berada dalam hatimu dan bibirmu,
sehingga kamu dapat mewartakan Injil dengan pantas dan baik,
dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.”
Dengan cara yang sama, ketika imam itu sendiri yang mewartakan Injil, dia berdoa dengan mengucapkan doa ini di dalam hati:
“Bersihkanlah hatiku dan bibirku, Allah Yang Mahakuasa
Sehingga saya dapat dengan pantas mewartakan Injil Suci-Mu.”
Umat awam dan semua orang yang mengikuti Misa, diundang untuk melakukan doa dan gerakan yang sama sebelum Injil dibacakan. Mereka semua didorong untuk mengatakannya dalam hati sebuah doa singkat yang membuat mereka siap menerima Firman Allah.
“Semoga Firman Allah berada dalam pikiranku, bibirku, dan dalam hatiku.”
Suatu tindakan yang indah, yang pertama tindakan ini memiliki akar biblis yang dalam. Contohnya, Allah menjelaskan kepada umat Israel untuk mengucapkan kata-kata tertentu (“Dengarlah, Hai Israel …”) setiap hari, namun juga membubuhkan kata-kata itu “sebagai lambang di dahimu” (Ulangan 6:8). Banyak orang Yahudi mengikutinya secara harafiah dan menempatkan sebuah gulungan kecil di dahi mereka. Ini menjadi pengingat yang tampak untuk menjaga Sabda Allah selalu ada pikiran mereka.
Yang kedua, doa adalah yang mengingatkan bagaimana Nabi Yesaya menerima penglihatan di mana malaikat memurnikan bibirnya dengan bara (lihat Yesaya 6). Hubungan ini dipelihara dalam Misa Forma Ekstraordinaria (Misa Bentuk Tidak Biasa / Misa Tridentina –red.), di mana imam mengucapkan doa ini sebelum pembacaan Injil:
“Sucikanlah hati dan bibirku, Allah yang Mahakuasa, yang telah mensucikan bibir nabi Yesaya dengan bara api: berkenanlah karena belas kasihanMu menyucikan daku sedemikian, hingga aku dapat mewartakan InjilMu yang suci dengan pantas.” (Dikutip dari Kami Cinta Ritus Tridentina)
Yang terakhir, doa mengingatkan Firman dari Surat kepada orang Ibrani, di mana sang penulis menulis, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” (Ibrani 4:12).
Oleh karena itu, ketika kita melakukan gerakan itu ketika Misa, menjadikannya benar-benar sebuah doa yang mendalam, membuka diri kita kepada Firman Yesus Kristus. Setiap kali kita mendengarkan Injil, Yesus mengetuk pintu hati kita, menunggu untuk masuk. Kita hanya perlu membuka pintunya.

5 Alasan untuk Tetap Mengikuti Misa sampai dengan Selesai

Oleh Suster Theresa Aletheia Noble, FSP.

Prosesi penutup sambil pemberian berkat oleh Kardinal O'malley (Sumber: aleteia.org)
Prosesi penutup sambil pemberian berkat oleh Kardinal O’malley (Sumber: aleteia.org)
Sebagian besar dari kita mungkin pernah satu atau dua kali melakukannya.
Kita langsung menuju pintu sambil menundukan kepala setelah menerima komuni, karena kita mempunyai suatu hal penting untuk dilakukan.
Kita berharap bahwa pastor dan teman-teman kita tidak memperhatikannya. Dan kemungkinan memang demikian. Namun, Seseorang memperhatikannya.

Sebagai seorang suster dari tarekat religius yang cukup sering berpindah-pindah di berbagai tempat, saya terkejut oleh perbedaan yang sangat drastis di beberapa paroki di berbagai wilayah di negara ini, dibandingkan dengan paroki-paroki lainnya. Saya berasal dari Oklahoma dan saya jarang melihat orang-orang yang meninggalkan Misa lebih dahulu. Saya pernah tinggal di California, dan di paroki tempat saya menghadiri Misa, orang-orang datang terlambat dan kadang-kadang meninggalkan Misa lebih awal. Saya sekarang berada di wilayah timur laut dan saya terkejut karena banyaknya orang-orang yang meninggalkan Misa lebih awal. Namun pola ini tergantung kepada parokinya. Hal ini menjadi fenomana yang menarik. Suatu insiden yang terisolasi yang tidak berkaitan dengan saya. Namun ketika setengah dari umat paroki yang “hilang” menuju tempat parkir sebelum lagu penutup selesai, hal ini membuat hati saya sedikit merasa sedih.
Kadang-kadang, saya ingin berlari kepada orang-orang yang berjalan dengan cepat keluar gereja langsung dari antrian komuni dan saya ingin menyalami mereka dan berkata, “Anda memiliki Yesus dalam diri Anda! Luangkan sedikit waktu untuk berbicara kepada Dia, bersyukur kepada Dia, dan mencintai Dia!”
Apakah perlu beberapa motivasi untuk tinggal sedikit lebih lama untuk menghadiri seluruh bagian Misa? Apakah Anda tahu orang-orang lain yang memiliki motivasi itu?
Inilah beberapa alasan mengapa saya tetap berada di sana sampai dengan Misa selesai, (selain fakta bahwa saya adalah seorang suster, dan akan menjadi skandal bila saya keluar setelah komuni di setiap Minggunya):
  1. Komuni itu tentang berkomunikasi: Ketika kita menerima komuni, kita menerima Yesus sendiri. Ketika kita makan dan pergi seperti mengunjungi seorang teman dan ketika dia mulai duduk dan hadir bagi kita, kita berdiri dan lari menuju pintu dan berteriak, “Senang sekali menghabiskan waktu dengan Anda, sampai jumpa minggu depan!” Komuni itu tentang berkomunikasi dengan Tuhan dan Penyelamat kita. Dalam rangka berkomunikasi secara spiritual, kita harus benar-benar menikmati waktu yang spesial ini bersama dengan Dia dan mengambil sedikit waktu bersama dengan Tuhan kita.
  2. Tidak baik untuk menjadi seseorang yang tidak sopan: Sebelum Misa di biara, kita mempunyai waktu setengah jam untuk hening dan merenungkan Injil. Kadang-kadang saya terlambat. Saya berjalan dengan cepat dengan kepala tertunduk, merasa malu kepada setiap orang yang melihat saya menyelinap masuk. Baru-baru ini saya menyadari bahwa motivasi saya untuk datang tepat waktu harusnya bukan untuk menghindari rasa malu, tetapi karena saya akan bertemu dengan Yesus. Mengapa kita lebih sering untuk memperhatikan reaksi orang lain daripada kita sendiri bersama Yesus? Kita mengira demikian, saya harus berlari karena banyak yang harus dilakukan, hal-hal yang begini dan yang begitu sedang menunggu saya! Tetapi kenapa begitu mudahnya bagi kita untuk pergi lebih awal dan datang terlambat ketika Sang Pencipta Alam Semesta sedang berharap bertemu dengan kita?
  3. Misa bukanlah aktivitas dalam daftar yang harus dilakukan (to-do list): Seringkali ketika saya melihat orang-orang keluar dari Misa, sepertinya mereka membubuhkan tanda dalam daftar aktivitas yang harus mereka lakukan dan mereka ingin menyelesaikan daftar-daftar itu. Kehidupan Kristiani bukan daftar yang harus dilakukan. Tapi sebuah undangan untuk berada dalam suatu hubungan dengan Allah. Jika kita pergi Misa karena rasa tanggung jawab, tentu saja kita mungin menghindari dosa berat, namun hampir tidak, alasan untuk menghindari dosa berat tidak memanggil kita ke dalam kehidupan rohani. Kita dipanggil untuk lebih dari itu. Kita dipanggil untuk memiliki hubungan, kekudusan, dan perubahan hidup.
  4. Pentingnya berkat penutup: Suatu hari di Hari Raya Perdamaian (Yom Kippur ed.), Zahkaria, ayah dari Yohanes Pembaptis, mendapatkan kehormatan untuk masuk ke tempat Mahakudus, dan pada hari itu malaikat berkata kepada dia bahwa dia dan istrinya akan memiliki seorang anak. Orang-orang banyak menunggu dengan sabar di luar untuk menunggu dia memberikan berkat setelah dia mempersembahkan ukupan. Ketika Zahkaria menjadi bisu karena dia tidak percaya pesan malaikat itu, tanpa adanya berkat yang diberikan semakin memperkuat rasa malunya dan tragedi kehilangan suaranya. Saya yakin orang-orang yang menunggunya itu pulang dengan sangat kecewa. Berkat itu berharga. Ketika seorang imam dengan tahbisannya ditunjuk Kristus, dia memberikan berkat penutup, dan kita diberkati oleh Allah sendiri. Jika Yesus berdiri dan bersiap-siap untuk memberikan berkat bagi kita sebelum kita meninggalkan Misa dan kembali ke dunia-Nya, apakah kita akan menunggu untuk berkat itu?
  5. Anda menerima rahmat yang lebih: Berdasarkan Katekismus, “Buah-buah Sakramen juga bergantung pada sikap hati orang yang menerimanya” (KGK 1128). Ada kekuatan dalam sakramen-sakramen dalam dan dari sakramen itu sendiri, namun seberapa banyak kekuatan itu menyerap ke dalam jiwa kita dan berperan dalam kehidupan kita, tergantung pada disposisi kita. Jika kita bergegas keluar dari gereja setelah komuni, kemungkinan disposisi kita tidak seperti bahwa diri kita itu secara sadar menghormati kenyataan yang luar biasa bahwa kita memakan Tubuh, Darah, Jiwa dan Keilahian dari Allah sendiri. Suatu hal yang berat. Dan suatu hal yang layak bagi kita untuk memiliki disposisi akan rasa hormat yang besar, jika hanya karena kita semua membutuhkan semua rahmat yang kita bisa dapatkan.
Diterjemahkan dari: aleteia.org

Membungkuk saat Syahadat, untuk apa?

Membungkuk saat Syahadat, untuk apa?

Dalam buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) ditulis demikian: “Membungkuk: dilakukan ketika mengucapkan ” Ia dikandung dari Roh Kudus , dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia” (Syahadat Nikea-Konstantinopel) atau ” yang di kandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria” (Syahadat Para Rasul) sebagai tanda ungkapan iman.”

Kalimat ini, mengungkapkan iman kita akan dua peristiwa yang terjadi lewat campur tangan ilahi, yang keduanya dirayakan dalam dua Hari Raya Gerejawi, yakni: Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret) yang merayakan peristiwa dikandungnya Santa Maria oleh Roh Kudus yang disampaikan oleh malaikat Gabriel, dan Hari Raya Natal (25 Desember) yang merayakan kelahiran Yesus Kristus, Sang Mesias terjanji. Maka pada kedua hari raya ini, umat tidak hanya membungkuk pada kalimat di atas, tapi berlutut.
Dalam Syahadat Nikea-Konstantinopel / Syahadat Panjang, lebih tegas dalam ungkapan keagungan misteri ini: et incarnatus est de Spiritu Sancto (Ia dikandung dari Roh Kudus), ex Maria Virgine (dilahirkan oleh Perawan Maria), et homo factus est (dan menjadi manusia).
Rangkaian peristiwa kabar sukacita sampai kelahiran, bermuara pada sebuah fakta iman, bahwa Putra Allah yang tunggal, yang sehakikat dengan Bapa, telah menjadi manusia. Peristiwa inilah yang disebut dengan peristiwa inkarnasi.  Santo Paulus mengungkapkannya dengan indah dalam suratnya kepada Gereja di Filipi: “… telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp. 2:7-8).
Gerakan membungkuk saat kalimat syahadat, merupakan tanda ungkapan iman yang mendalam akan Allah yang menjadi sama dengan manusia, yang merendahkan diri-Nya bahkan sampai wafat di kayu salib. Allah yang merendahkan diri-Nya ini kita hayati dan ungkapkan dalam bentuk gerakan yang merendahkan diri kita pula di hadapan-Nya, yakni membungkuk khidmat. Pada Hari Raya Kabar Sukacita dan Hari Raya Natal dimana dua peristiwa ini dirayakan, kita tidak hanya membungkuk namun lebih merendahkan diri lagi, yakni berlutut.
Maka marilah kita galakkan lagi tata gerak ini, bukan supaya memenuhi aspek legalitasnya belaka, namun lebih dalam dari itu, demi memperdalam iman kita akan Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, lewat rahim Santa Perawan Maria.
~ Dominus illuminatio mea et salus mea ~
Sumber: Page “Gereja Katolik” Facebook

Sejarah Dupa dan Mengapa Digunakan Saat Misa


Sejarah Dupa dan Mengapa Digunakan Saat Misa


Posted by Terang Iman - https://terangiman.com/2018/10/19/sejarah-dupa-dan-mengapa-digunakan-saat-misa
.
Oleh Larry Peterson
.
Penggunaan Dupa dalam Misa (Pascal Deloche) (Sumber: aleteia.org)
Elemen wawangian dari warisan Katolik kita ini sudah ada berabad-abad sebelum kelahiran Kristus. Bagi saya ada “sesuatu” dari wawangian yang berasal dari dupa yang baru dibakar itu yang mengisi ruangan gereja dan mengangkat semangat rohani kita. Nah dari mana dupa itu berasal dan mengapa kita menggunakannya?

Penggunaan dupa dalam peribadatan keagamaan dimulai lebih dari 2.000 tahun sebelum Kekristenan lahir. Penggunaan dupa di Tiongkok dicatat sebelum tahun 2.000 Sebelum Masehi. Perdagangan dupa dan rempah-rempah adalah faktor ekonomi utama antara Barat dan Timur, ketika karavan (kendaraan berbentuk gerobak yang ditarik oleh binatang –red.) berkelana di Rute Dupa Timur Tengah dari Yaman melalui Arab Saudi. Rute ini berakhir di Israel dan di sinilah dupa diperkenalkan kepada Kerajaan Romawi.

Agama-agama di dunia barat sudah lama menggunakan dupa dalam upacara-upacara mereka. Dupa tercatat dalam Talmud dan disebutkan dalam Alkitab sebanyak 170 kali (seringkali dengan istilah ukupan –red.). Contohnya dalam Keluaran 30:1 yang berbunyi:
“Haruslah kaubuat mezbah, tempat pembakaran ukupan; haruslah kaubuat itu dari kayu penaga … “
Penggunaan dupa dalam ibadat umat Yahudi berlangsung lama bahkan setelah awal mula Kekristenan dan yang menjadi pengaruh yang pasti dalam penggunaan dupa dalam perayaan liturgis Gereja Katolik. Gereja melihat bahwa pembakaran dupa sebagai gambaran doa-doa umat beriman yang naik ke Surga. Simbolisme ini disebutkan dalam Mazmur 141:2 yang berbunyi:
“Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.”

Tidak ada rentang waktu yang pasti yang tercatat untuk mengetahui kapan dupa diperkenalkan dalam ibadat keagamaan Gereja. Tidak juga ada bukti untuk membuktikan bahwa penggunaan dupa selama empat abad pertama Gereja. Namun ada referensi bahwa dupa digunakan dalam Perjanjian Baru. Lukas, di awal Injilnya, berbicara tentang kelahiran Yohanes Pembaptis, dia menuliskan demikian:
Sementara itu seluruh umat berkumpul di luar dan sembahyang. Waktu itu adalah waktu pembakaran ukupan. Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan. Melihat hal itu ia terkejut dan menjadi takut. (Luk 1:10-12)
Dupa bersifat sakramental, digunakan untuk menguduskan, memberkati, dan memuliakan. Asap dupa adalah simbol dari misteri Allah sendiri. Ketika asap dupa naik, gambaran dan wewangian menunjukkan manisnya kehadiran Tuhan kita dan memperkuat makna Misa yang menghubungkan Surga dan Bumi, yang berakhir di hadirat Allah.

Asap juga melambangkan iman yang kuat yang seharusnya memenuhi kita semua dan wawangian mewakili kebajikan Kristen.

Dalam PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) memperbolehkan penggunaan dupa pada beberapa waktu dalam Misa. Ketika sesuatu didupai, wiruk (pedupaan) diayunkan tiga kali, yang mewakili Tiga Pribadi dalam Tritunggal Mahakudus.
Ada beberapa waktu penggunaan dupa dalam Misa
  • Ketika prosesi masuk.
  • Permulaan Misa untuk mendupai altar dan salib.
  • Permulaan bacaan Injil.
  • Setelah roti dan piala ditempatkan di altar untuk mendupai persembahan, salib, altar, imam, dan akhirnya umat.
  • Setelah Tubuh Kristus dikonsekrasi dan Tubuh Kristus diangkat dan setelah Darah Kristus dikonsekrasi dan Darah Kristus diangkat. (tambahan dari TerangIman.com)
Selain itu, dupa digunakan pada upacara pemakaman baik dalam gereja, di peti mati dan di tempat pemakaman. Dupa juga digunakan pada Kamis Putih saat Sakramen Mahakudus ditahtakan dalam masa hening. Dan pada Malam Paskah, lima butir dupa ditusukkan dalam Lilin Paskah.

Akhirnya mari kita lihat Kitab Wahyu 8:3-4:
Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.
Betul sekali, penggunaan dupa itu sangat berakar dalam warisan Katolik kita.
Sumber: “The history of incense and why it’s used at Mass”

Mengenal Warna Liturgi


Mengenal Peralatan MISA


Museum Maria Bunda Segala Suku Jakarta

Museum Maria Bunda Segala Suku Resmi Ada di Jakarta

Matakatolik.Com-Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo meresmikan Museum Maria Bunda Segala Suku. Museum ini terletak di dalam Gedung Marian Center Indonesia (MCI) di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Peresmian ini berlangsung pada Sabtu,20/10/2018, sore.

Kehadiran museum ini diharapakan dapat meningkatkan semangat umat devosi kepada Maria khususnya devosi kepada  Bunda Segala Suku semakin berkembang di Indonesia.

Peresmian museum ini dilakukan dalam sebuah perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. Suharyo sebagai selebran utama dan lima imam termasuk Pastor Stefanus Buyung Florianus OCarm selaku moderator MCI. Hadirir lebih dari 100 umat Katolik dari beberapa paroki di wilayah Keuskupan Agung Jakarta dalam acara ini.

“Akhirnya sesudah perjalanan panjang, lahirlah Museum Maria Bunda Segala Suku. Kita semua berharap semoga di ruangan kecil ini semangat Bunda Maria dapat semakin merasuk ke dalam batin siapa pun yang ikut di dalam devosi kepada Maria Bunda Segala Suku ini,” kata Mgr Suharyo dalam homilinya.

Ia menambahkan devosi kepada Maria Bunda Segala Suku merupakan ungkapan kreatif dari umat Katolik untuk meneladani Bunda Maria.

Mgr Suharyo juga menekankan niat umat Katolik untuk meneladani Yesus dan mengikuti Yesus sebagai murid-Nya yang semakin sempurna.

“Menjadi serupa dengan Yesus itu bagaimana? Bahasa, ajaran resmi Gereja seperti apa? Kita bertumbuh di dalam kepenuhan hidup Kristiani, di dalam kasih yang semakin sempurna, di dalam kesucian yang semakin sempurna,” lanjutnya.

Mgr Suharyo menyinggung seruan apostolik “Bersukacita dan Bergembiralah” (gaudete et exsultate) yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 19 Maret lalu untuk menjelaskan tentang kesucian.

“Berikut contohnya: seorang ibu pergi berbelanja dan dia berjumpa dengan seorang tetangga. Mulailah mereka berbicara, Sampai pada suatu titik, kedua ibu itu mulai bergosip. Gosip itu omong jelek tentang orang lain. Namun ibu itu berkata dalam hati ‘tidak, saya tidak akan berbicara jelek mengenai orang lain.’ Ini komentar Paus adalah satu langkah maju dalam kesucian,” katanya.

“Kesucian itu sesederhana itu. Tanda-tanda kecil adalah pengalaman hidup kita sehari-hari. Seperti halnya Bunda Maria menjalani hidupnya dalam kehidupan sehari-hari dan bertumbuh di dalam kesucian,” lanjutnya.

Mgr Suharyo berharap keberadaan museum itu membantu umat Katolik di KAJ khususnya dan di Indonesia umumnya untuk mengembangkan devosi kepada Maria Bunda Segala Suku. Museum tersebut berisi beberapa lukisan dan patung Bunda Maria dari berbagai suku seperti Jawa dan Dayak.

Dalam sambutannya, Pastor Buyung mengajak umat Katolik untuk terus mengupayakan persatuan.

“Tugas kita, tanggung jawab kita adalah meneladani Bunda Maria untuk mempersatukan dan mendamaikan. Oleh karena itu, (keberadaan) Museum Maria Bunda Segala Suku untuk mempersatukan dan mendamaikan, bukan menceraiberaikan,” katanya.

Matakatolik